Mereka Makan dengan Lahap

“Nama saya Maria Prihatin, belajar di Cakung, rumah di sana,” ujar Prihatin sambil menunjuk sisi kiri dari tempat kami bertemu sore itu, Sanggar Belajar Cakung. “Nama saya Pedro, umur 8 tahun, tinggal di Gang Muslim,” lanjut Pedro.

Perkenalan ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga bulan lalu dengan mereka. Saat pertama kali diajak Ikka untuk membantu dia di tempat belajar yang diampu Kak Debby ini. Memperhatikan 47 anak memperkenalkan diri, sesekali aku masih suka tertawa melihat kepolosan mereka. Gaya mereka yang sederhana, kadang malu-malu, kadang jadi hilang suara, tetapi mereka cukup berani dan percaya diri untuk mengenalkan diri.

Ketika giliran Lini memperkenalkan diri, aku sempat melirik ke wajah Gita yang duduk di sampingku. Matanya berkaca-kaca. “Duh, aku terharu banget. Padahal mereka bicara begitu saja. Aku jadi membandingkan mereka dengan anakku. Jadi kangen rumah rasanya,” ujarnya. Tidak hanya sekali ia menyeka sudut matanya. Aku baru tahu, di balik badannya yang tinggi besar, ia memiliki hati yang sangat sensitif rupanya. Aku hanya senyum saja melihat kegelisahan Gita.

Siapapun pasti akan tergugah melihat anak-anak ini. Dalam kepapaan dan kesederhanaan hidup mereka, Kak Debby, Ikka dan banyak teman yang lain melihat mereka ini bagai butiran-butiran mutiara.Ketika giliran kami kembali memperkenalkan diri, mereka menyimak dengan takzim. Lagi-lagi Audi mendapatkan sapaan yang meriah dari anak-anak cewek yang mulai menginjak remaja. Satu lagi yang secara khusus mendapat perhatian yaitu Pak Anton dari Multivitaplex yang sore itu datang bersama keluarganya. Dengan tubuh yang paling besar di antara kami semua, pantas Pak Anton jadi pusat perhatian.

”Nama saya Anton, saya kerjanya membuat obat, antara lain membuat vitamin,” ujarnya sambil menjelaskan manfaat vitamin untuk tubuh.
”Weiihhhh agak-agak ngeri ya,” celetuk Dirmo. Kami tertawa mendengar celetukkannya yang spontan. Mungkin Dirno masih membayangkan vitamin itu dengan obat-obat pahit yang seringkali harus diminumnya di kala sakit.

Sore itu sangat istimewa untuk kami maupun anak-anak. Kami merencanakan untuk berbuka bersama dan berbagi kebahagiaan kecil yang beberapa waktu terakhir ini sudah kami usahakan benar-benar. Keterlibatan Pak Anton besar artinya untuk kegiatan sore itu.
Kelelahan setelah beberapa hari sebelumnya sibuk mengemas bingkisan untuk anak-anak, menyiapkan bantuan vitamin untuk mereka, mencarikan sejumlah buku pelajaran dan bacaan, terbayar sudah melihat senyum dan kebahagiaan di wajah anak-anak.

***
”Sore ini kami ingin menunjukkan kemampuan anak-anak untuk menyanyi dan puisi yang diikuti anak-anak dari berbagai kategori belajar,” ujar Kak Anah dan Kak Yulina yang sore itu.

Kami tertawa melihat tingkah mereka bernyanyi. Kadang menata barisan sambil ribut sana sini atau ledek-ledekan. Tetapi sebentar kemudian, mereka sudah rapi dalam koreografi sederhana. Ester dan Kartini mengiringi nyanyian dengan seruling. Sesekali aku tersenyum melihat ekor mata Susi yang mencuri-curi pandang ke Audi saat difoto. Ah anak-anak.

Saat Kevin membawakan puisi Kekecewaan Petani dan Intan dengan puisi Ibuku, lagi-lagi mata Gita berkaca-kaca. Puisi-puisi itu memang sangat menyentuh. Selain Kevin dan Intan, masih ada Chintya, Pedro, Mayang dan Fani yang membawakan karya mereka petang itu.

Kau menanam padi susah payah
Walau harus terjemur di sawah

Tapi kau tidak takut kalah
Dengan tikus-tikus sawah
Walau hasil panen harus dijual murah
Tapi tekadmu tidak akan goyah.

Puisi ini memang sangat menyentuh. Pantas kalau Gita juga terharu. Aku membayangkan puisi itu Kevin ia dapatkan dari gambaran keseharian ayah ibunya yang menggarap lahan di belakang rumah dengan tanaman kangkung, kacang, bayam ataupun terong. Mereka bekerja keras, terpapar terik untuk hasil panen yang hanya cukup untuk makan satu dua hari saja.

***

Usai menunjukkan kebolehan, Kak Yulina dan Kak Anah mempersilakan kami semua untuk melihat hasil karya mereka selama ini: Ada jualan coklat dalam bentuk yang cantik-cantik, kartu lebaran dan majalah dinding yang ditempel di tembok rumah Ibu Ester. Mereka mempersilakan kami semua untuk keliling di seluruh pemukiman tersebut. Ada Ester yang tanggap menjelaskan tentang majalah dinding yang ia jaga sore itu, lalu Susi menjelaskan tentang kepiawaiannya membuat rajutan, Kak Uju menjaga jajanan coklat yang dibuat beberapa hari sebelumnya bersama anak-anak kategori 4 dan 5.

Tak terasa senja jadi cepat datang. Rasa lapar karena seharian menahan haus dan lapar tak terasa lagi. Tapi ketika azan berkumandang, kami kembali ke Sanggar. Diki memimpin doa untuk membatalkan puasa kami hari itu. Lalu kakak-kakak membagikan es buah yang sangat segar.

Intan, Lina dan Lini yang sedari tadi ngelendot di pangkuanku segera tandas menghabiskan minuman tersebut. Lini bahkan tambah 2,5 gelas. Intan terus menghabiskan buah dalam gelas plastiknya, setelah airnya habis ia minum. Senangnya melihat anak-anak semangat seperti ini.

Hebatnya lagi, Intan masih bisa makan nasi dus yang diberikan sore itu. Padahal, ia biasanya paling susah makan. Begitu juga anak-anak lain. Senang rasanya memperhatikan anak-anak yang makan dengan lahap dan bermain dengan gembira.

Rasanya, tidak ada lagi masalah yang perlu dikhawatirkan. Dunia anak-anak yang sangat sederhana. Andai dunia orang dewasa sesederhana itu ya.

No Response to "Mereka Makan dengan Lahap"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes