Tuhan, Kirimkan Mimpi Indah Buat Mereka

Tak sampai sepuluh menit kami menemani mereka di pematang sawah. Bukan karena tidak tahan dengan teriknya cuaca. Tapi melihat mereka sudah menikmati sesi praktik fotografi ini, kami membebaskan mereka berekspresi.

Kak Uju menunjukkan hasil karya anak-anak. Kartu ucapan lebaran yang mereka buat sendiri. Kartu-kartu sederhana dengan ornamen kertas warna-warni. Berhias ketupat dan bunga. Ah aku jadi ingat waktu kecil dulu, aku juga suka membuat kartu ucapan lebaran atau hari raya lain berhias bunga dan daun-daun kering ditambah dengan pita. Dulu aku suka menjual di sekolahku.

Lalu ada pula rajutan tempat handphone dan rajutan bando yang lucu sekali. Gemas melihat rajutan bando itu. Aku tidak tahu pantas tidak aku pakai bando itu. Dari pada penasaran kucoba satu. Risky memotretku.

“Pantes kok. Mirip sedikit zaman Maria Mercedes,” goda Ikka. Kami semua tertawa, ingat telenovela yang dulu digemari sejuta ibu-ibu itu.

“Gak boleh kurang ya harganya? Beli kartu sama bando, diskon dikit ya?” rayuku pada Kak Uju.

”Ini kan buatan tangan Kak, jadi mahal,” ujarnya. Sebetulnya aku hanya menggoda. Di zaman kini, di saat operator memberi gratisan seribu SMS, di saat Blackberry memudahkan komunikasi, rasanya jadi naif berkirim ucapan lebaran dalam selembar kertas, yang entah kapan sampainya.

Zaman yang bergerak cepat, meminggirkan Pak Pos dengan sendirinya. Pada saat yang sama mungkin masih ada pula yang merasa lebih dihormati menerima kiriman kartu dibandingkan sederet SMS yang copy paste saja.

Tapi aku sudah tahu kepada siapa kartu tersebut akan aku kirim. Aku juga tahu untuk siapa bando rajut tersebut akan aku berikan. Sudah terbayang teriakan bahagia keponakan mungilku di Bandung pasti akan senang dengan bingkisan kecil itu. Juga sahabatku yang sudah lama tidak aku kunjungi, pasti akan bahagia menerika kartu lebaran itu.

Karya-karya sederhana ini ternyata tidak hanya menghasilkan uang dan menambah ketrampilan mereka saja, tetapi juga menularkan kebahagiaan untuk aku dan orang-orang lain.

***

Aku jadi ingat tulisan temanku: ”Saya tertidur dan saya bermimpi sangat indah. Saya bermimpi jadi malaikat.......Tatkala saya bangun, saya terpekur: saya begitu miskin. Saya tidak mampu membayar untuk mendapat hiburan, maka Tuhan mengirimi saya mimpi-mimpi ini bagi jiwa saya yang gelisah. Karena Tuhan melindungiku, aku menyampaikan terima kasih.”

Mudah-mudahan Tuhan mengirimkan banyak mimpi indah untuk mereka, teman-teman kecilku di Cakung. Mereka banyak menghiburku dalam keterbatasan kondisinya. Mimpi indah tentu akan menjadi pelita dan kekuatan mereka. Dan aku juga yakin, hal besar pun dimulai dari mimpi yang seakan mustahil. Mudah-mudahan lebaran kali ini penuh berkah untuk mereka.

‘Gaya Titanic’ di Hamparan Kangkung

“Dear all, kita akan ke Cakung lagi tanggal 21 Agustus dan tanggal 4 September nanti. Kumpul di tempat biasa. Datang ya. Sasan pasti bisa kan?” begitu pesan yang ditinggalkan Ikka dalam inbox di FB ku dan beberapa teman.

Antara bersorak dan bingung mau tanggapi pemberitahuan itu. Sabtu ini tidak masalah buat aku, tetapi di awal September itu aku sudah janji dengan beberapa teman di Bandung untuk
ngabuburit barengan. Mumpung minggu terakhir di saat kami bisa meluangkan waktu bersama, sebelum masing-masing mudik lebaran.

Kunjungan ke Cakung kali ini menggenapi janji Ikka yang sempat tertunda beberapa minggu. Selama itu, ibu-ibu dan remaja di Cakung sibuk menyiapkan kegiatan ekonomi menjelang puasa dan lebaran nanti. Kegiatan ekonomi tentu lebih mendominasi. Kak Uju mengajari anak-anak membuat permen coklat untuk dijual. Kakak-kakak yang lain mengajari membuat kartu ucapan untuk lebaran.

Hampir tiga minggu kami absen mengunjungi komunitas Cakung. Rasanya waktu berhenti cukup lama. Meski kegiatan fotografiku tetap berjalan. Beberapa proyek juga harus aku selesaikan. Tetapi kesempatan ke Cakung lah yang justru aku tunggu-tunggu.

***
Aku, Ikka, Mas Bayu dan Rizky berdempetan di mobil mungilku. Kali ini tanpa Audi yang seringkali menemani kami untuk membuat dokumentasi kegiatan di Komunitas Cakung.”Mobil balap Sasan” begitu Rizky menjuluki mobilku” Wahhhhhhhhhh....jadi tidak balance nih Ky, keberatan kamu,” ledek Ikka. Rizky masuk kategori kelas berat di antara kami, meski dia mengaku bobotnya sudah turun lima kilogram.

Menembus jalan ke arah Pulo Gadung, berdempetan dengan
kendaraan-kendaraan besar, mobilku rasanya makin mengecil saja di antara tronton dan truk-truk besar. Mataku sempat menyapu penggusuran di depan Terminal Pulo Gadung. Sisa-sisa tripleks, kayu dan kasur teronggok begitu saja. Pemandangan yang sangat khas menjelang lebaran. Biasanya masih ditingkah pula dengan kebakaran di tempat tinggal kumuh, entah disengaja atau tidak.

”Kita ke rumah Kak Uju ya. Anak-anak nunggu di sana. Aku bawa beberapa kamera untuk latihan. Kita ngobrol
dan praktik tentang komposisi,” jelas Mas Bayu di mobil. Tadi sebelum berangkat kami sempat memperbincangkan tema kali ini. Anak-anak kelas empat ke atas belajar fotografi untuk ketiga kalinya. Ini adalah sesi fotografi yang terakhir.
”Jalan Gelatik, lalu ke Jalan Dahlia, ada kandang bebek di depan rumah warna hijau. Parkir di pinggir jalan besar saja, bisa bawa mobil ke dekat rumah, tetapi jalannya jadi jauh,” begitu pesan Kak Uju waktu ditelpon Mas Bayu.

Kami pun menyusur gang yang dimaksud. Ketemu serombongan masyarakat yang sedang memanen kangkung. ”Foto kami dong. Bentar biar bergaya dulu!” teriak seorang bapak dari tengah ladang kangkung. Kami tertawa. Tak urung Ikka memotretnya juga dengan kamera kecilnya. Mereka tertawa senang. Ah kebahagiaan yang sederhana.

Rumah warna hijau dan kandang bebek tidak terlalu sulit kami temukan. Sejenak beradaptasi dengan aroma kotoran bebek yang khas. Menunggu Kak Uju yang sedang dalam perjalanan dari sanggar bersama empat anak yang akan belajar memotret.

”Itu mereka!” ujar Ikka melihat Kak Uju datang bersama si keriting Susi, Kartini yang kalem, Ester yang berlesung pipit dan Yana. Senang melihat mereka bersemangat, meski puasa dan kepanasan di perjalanan.
”Kak Audi mana? Tidak datang ya? Yahhhhhhhhhhhh……jadi tidak bersemangat deh,” ujar Susi. Ah…..ha…. baru aku tahu kalau Audi punya fans berat di Cakung.

“Kak Audi masih di Bandung, besok lagi ikut kok. Nanti salamnya disampaikan,” ujar Ikka dan Rizky. Sejenak wajah Susi yang bersungut sudah kembali ceria melihat kamera merah hati milik Ikka. Jadilah kelas fotografi di depan rumah Kak Uju. Duduk di atas bale-bale yang rindang oleh pohon Talok. Mas Bayu mengulang sedikit pelajaran lalu tentang cara motret, flash dan ISO. Pelajaran kali ini mengenai komposisi, sudut memotret, garis imajiner. Materi berkembang pula ke foto gaya dan candid camera.

***

Kamera merah terus dipegang Susi sejak Mas Bayu jelaskan beberapa teori tadi. Aku membantu menjelaskan tentang komposisi dan sudut pengambilan gambar. Satu kamera lagi dipegang Kartini.


Beberapa anak datang menyusul: Yohanes, Zakaria, Aris, Anah, Indriasari dan Mohandri. Pelajaran diulas balik untuk mereka yang baru datang, lalu mereka diberi tugas untuk memotret sesuai komposisi yang baru saja dijelaskan. Lokasinya tak jauh-jauh. Di samping rumah Kak Uju yang dipenuhi hamparan tanaman kangkung. Mereka praktik berkelompok. Kelopok satu: Johanes – Susi – Indri. Kelompok dua: Ester, Kartini, Yana dan Anah. Sisanya Mohandri, Aris dan Zakaria.

Susi dan Indri bergaya dengan salam dua jari. Yana masih bingung dengan gayanya. Aris dan Zakaria yang dipotret Mohandri bergaya metal. Aku sempat tertawa melihat gaya Indri dan Susi yang mirip adegan di film Titanic sewaktu Leonardo Dicaprio bersama kekasihnya membentangkan tangan di haluan kapal mewah tersebut. Cuma kali ini adegannya di pematang sawah.

Tak sampai sepuluh menit, dari tadinya yang bingung bagaimana bergaya, kini mereka sudah enjoy. Hasil foto ini akan kami lombakan. Hadiahnya nanti dibagi menjelang lebaran. ”Kita tampilkan saja foto-foto yang dulu mereka buat dalam proyektor, pasti mereka suka,” ujar Mas Bayu. Great idea. Jadi tidak sabar menunggu awal September.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes