Ketulusan di Museum Bank Mandiri

Sabtu, 24 Juli 2010. Menegangkan pagi itu buat aku. Rizky memang sudah menyebarkan undangan ke berbagai milis. Tak sedikit yang confirm datang. Ikka sudah sejak pagi tadi di Museum Bank Mandiri. Ia ingin memastikan pekerjaannya dengan Rizky dan beberapa teman lain memuaskan. Rizky masih sembab matanya tapi berhasil bangun pagi juga.

Hubungan baik Ikka dengan teman-teman di Museum Bank Mandiri membawa banyak keuntungan. Kami bisa meminjam panel hitam lengkap dengan lampu sorotnya. Masih pula diberi kertas putih agar foto-foto tak berbingkai tampil lebih variatif. Ikka menghias dengan puisi yang dibuat sahabat-sahabat kecilku di Cakung. Tak lupa mereka juga menyiapkan 25 foto karya anak-anak Cakung ketika kami membuat workshop fotografi untuk mereka. Keanggunan Museum Bank Mandiri disempurnakan dengan karpet merah yang diletakkan di bawah panel bersorot tersebut. Sederhana tapi cantik menurutku.

Keesokan harinya, sejak jam tujuh pagi mereka berdua sudah stand by lagi di tempat pameran. Ikka membenahi tampilan bingkai-bingkai foto tersebut. Risky memastikan buku tamu sudah di tempatnya. Aku baru saja meluncur dari pemotretan Bandung. Jam sembilan lebih aku baru sampai di Museum Mandiri. Kagum aku dengan hasil kerja Ikka, Rizky dan Alex.

***

Tidak ada kata sambutan dan gunting pita. Menyelesaikan semua panel foto ini saja sudah membuat Ikka dan Rizky nyaris ambruk. ”Ikka, pray for the best ya,” ujarku dengan Ikka ketika dia duduk di kursi panjang museum melepaskan segala penatnya. ”Kita sudah lakukan yang terbaik San, serahkan saja sisanya ke yang Maha Pengatur,” balasnya kalem. Benar juga ya. Yang penting niatan kami baik untuk menyelenggarakan pameran ini.

Tamu pertama pun muncul. Rombongan keluarga dari Cimanggis. Sebetulnya mereka bukan bertujuan melihat pameran ini, tetapi mengunjungi museum. Poster menarik yang dibuat Ikkalah yang membuat langkahnya memperhatikan foto-foto tersebut.

“Benar ini anak-anak Cakung? Apa yang mereka perlukan?” tanya sang ayah. Ikka menjawab berbagai tanya dari keluarga ini. Aku menyambut tamu lain. Sepasang muda-mudi. Mereka mengenaliku di situs jejaring. ”Wah keren mbak fotonya,” puji mereka. Dua tiga tamu lagi kami temani dan jelaskan tentang kondisi teman-teman kecil kami di Cakung. Oh iya, Sabtu itu ada Githa. Ia banyak membantu mengurus pernak pernik yang terlewat, termasuk menyediakan tempat kartu nama dan kotak untuk donasi.

Seorang Ibu datang. Ia tahu kegiatan ini dari Facebook. Di tangannya ada setumpuk buku Donald, majalah dan buku-buku puisi. “Saya tidak tahu apa yang mereka perlukan, tetapi mudah-mudahan buku-buku ini bisa banyak membantu,” ujarnya tulus. Githa menerima bingkisan tersebut. Menemaninya berkeliling. Ah aku terharu dengan sikap sederhananya. Selain buku, dari tamu yang berkunjung, kotak donasi Githa pun sudah terisi.

Hudép lam dǒnya

Hudép lam dǒnya sigo thô reu-ôh
Miseue tapiôh yub kayèe raya
Han jan tathèe-thèe nyawong ka putôh
Ka tinggai tubôh han sakan guna

Hudép lam dǒnya beuna ibadat
Beukai akhirat sinöe tamita
Ubé na dèesya bandum tatèebat
Uroë akhiran asoë syeuruga

***

Hidup di dunia sekali berpeluh
Bagai berteduh di pohon rindang
Tanpa diduga nyawa menghilang
Tinggalah tubuh tak berguna

Hidup di dunia harus bertobat
Bekal di akhirat cari di sini
Setulus kita bisa bertaubat
Hari akhirat mengisi surga

Puisi sederhana yang terselip dalam buku-buku yang dibawa sang Ibu tadi menarik perhatianku. Benar ya, apa arti bila hidup tak punya makna. ”Saya punya banyak kartu seperti ini. Ada berapa jumlah anak di sana? Nanti saya bawakan lagi,” ujarnya ketika akan beranjak pulang. ”Ajak saya ke Cakung ya,” pintanya.

Tanpa terasa buku tamu sudah terisi lembar demi lembar. Ada yang dari Bekasi, Grogol, Cengkaeng, Depok, Rawamangun, Cibubur, Slipi, Tanjung Priuk, Cimanggis, Manggarai, Tebet, dan masih banyak lagi daerah-daerah di Jakarta yang datang mengunjungi pameran kami. Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya belum puas hanya bisa pameran satu hari. Tapi baru itu yang bisa kami lakukan. Haru rasanya waktu harus menurunkan kembali bingkai-bingkai itu dari panel.

***

“Ikka, dapat berapa?” tanyaku pelan, deg-degan aku menanyakan jumlah donasi yang kami dapat dari kegiatan sehari itu.
“Sepertinya belum banyak San,” balasnya.
”Tidak apa-apa. Ini usaha pertama kita. Simpan ya,” ujarku menyemangati. Benakku berputar cepat sekali. Apalagi ya yang bisa kami lakukan untuk sahabat-sahabat kecil kami.

Lensa Mata Hati

Benar adanya bahwa di dunia ini hanya ada dua pilihan yang bisa diambil. Baik buruk, panas dingin dan lain sebagainya. Tidak pilihan yang setengah-setengah. Setengah panas atau setengah dingin. Malah bikin anyang-anyangan nanti.

Begitu juga dengan diriku saat ini. Bukan pilihan berat. Hanya soal rasa saja. Hari-hari terakhir ini undangan untuk menjadi juri atau memotret even. Kamis kemarin memotret Miss celebrity di Ancol. Asyiknya bisa motret bareng mentorku di acara, Bang Darwis. Motret mereka berlenggong di tepi kolam renang, atau yang sibuk diajari jalan oleh Cathrin Wilson. Lalu motret bareng teman-teman di Indonesia photographer.

Menyenangkan sekaligus melelahkan. Menyenangkan karena ini benar-benar cara mengisi waktu yang efektif sambil menunggu Mas Iwan yang masih di Norwegia dalam tiga bulan ini. Melelahkan karena hampir setiap hari ada acara. Menyetir Cibubur – Jakarta – Cibubur, di tengah kemacetan yang susah terurai.

Tapi lelah bukan pilihanku. Bayangan Lina - Lini - Adit – Gio, begitu lekat di pelupuk mataku. Rambut merah mereka, bisul bernanah di jidat anak-anak Cakung. Tubuh mungil Fajar yang seringkali sakit. Kak Debby yang begitu gigih.

Ada rasa yang bergolak. Ingin rasanya melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi apa? Uang tidak akan membantu untuk jangka panjang. Tenaga? Ah, masih lebih tangguh Kak Debby dibandingkan aku. Dia memberikan hidupnya selama enam tahun lalu untuk komunitas ini. Aku baru 2-3 kali saja datang, bercengkerama lalu pulang. Bukan aku yang menghibur mereka, justru aku yang menjadi penghiburan dari senyum lugu anak-anak ini.

Puluhan foto anak-anak Cakung kembali membayang. Akan aku apakan foto-foto ini. Bagaimana foto ini bisa menghasilkan sesuatu untuk mereka. Pameran? Apa judulmya? Apa ada yang mau lihat. Duh......gemas aku jadinya.

***

“Kamu sudah memotret mereka dengan lensa mata hati kamu San,” ujar Rizky siang itu. Ketika aku curhat kegundahanku. “Sangat layak dipamerkan. Its so touching,” ujarnya menepis keraguan aku.

Tak berlebih aku memanggilnya Mr. Solusi. Kalau mentok ide, ngobrol dengan Rizky, otak jadi lancar lagi. Kami pun berjibaku mengedit dan mengklasifikasi agar mudah dipahami orang temanya.

“Aku yang cetak ya, pasti dapat murah,” ujar Ikka. Nah, giliran beli bingkai Mas Bayu yang kebagian jatah. Lebih murah membeli dalam jumlah banyak seperti ini, daripada memesan di tukang kayu. Tiga lusin bingkai hitam dibawa Mas Bayu dari Ragunan. “Lebih murah beli di sana,” ujarnya cekak. Aku dan Ikka hanya senyum saja, tidak kebayang bagaimana tiga lusin pigura bisa nangkring di motor Mas Bayu.

Aku sudah bertekad dengan teman-teman mau berbuat sesuatu untuk membantu anak-anak di Cakung. Ikka kebagian melobi Museum Bank Mandiri. Rizky menyiapkan konsep pameran dan membagi pengumuman. Sementara acaraku di Bandung tidak bisa aku tinggal, aku harus pergi. Jadilah Ikka dan Rizky yang harus berjibaku menyiapkan semuanya. Alex menawarkan diri membantu.

Saking semangatnya menata di museum, Ikka sampai lupa dengan rasa takutnya.
“Emang berani kamu sampai tengah malam di sana? Apa tidak takut?” tanyaku penasaran saat pembukaan pameran tersebut. “Saking capeknya, sampai rasa takutpun enggan singgah San,” ujarnya masih dengan mata yang kuyu.

Sekarang aku yang takut., jangan-jangan donasi dari pameran foto ini tidak menghasilkan banyak dana. Kalau itu yang terjadi bagaimana ya..........................

Lilin-lilin Kecil untuk Cakung Sawah

“Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuki kegelapan.” Kalimat ini sangat ajaib, selalu mampu membuatku berpikir positif.

Membaca deretan kata-kata yang aku pasang di depan memo pad meja kerjaku ini, memaksaku membuang jauh-jauh kutukan dan serapah kenapa masih ada orang yang kurang beruntung, kenapa anak-anak harus jadi korban, kenapa dan kenapa.

Aku berpikir, bagaimana foto-foto anak-anak Cakung ini bisa aku publikasikan lebih luas. Koleksiku sendiri sudah puluhan jumlahnya. Ditambah karya Alex dan Hari tentu cukup untuk membuat pameran kecil entah di café atau di mana. Belum lagi kalau aku mengundang lebih banyak teman untuk mau terlibat. Pameran foto adalah salah satu cara untuk berbagi ide dan menarik kepedulian. Aku yakin, gambar lebih mampu berbicara dibandingkan kata-kata.

Aku juga bisa melakukan lelang foto. Hasilnya nanti bisa digunakan untuk membantu anak-anak di Komunitas Cakung. Entah untuk bantuan kesehatan atau pendidikan. Passion inilah yang membuatku bersemangat.

Teman-teman di majalah dan organisasi-organisasi sosial yang aku ikuti sejak kuliah dulu tentu akan sangat membantu.

Ide-ide ini aku ceritakan ke teman-teman. Mereka setuju. Langkah awal, membuat beberapa proposal untuk aku tawarkan ke relasiku. Aku benar-benar berdoa, mereka akan membantu proyekku ini.

”Ah kenapa tidak membuat kegiatan di Kota Tua? Pameran foto dan mungkin bisa sekalian mendongeng untuk anak-anak. Juga bisa ditambah beberapa kegiatan lain. Menarik tidak?” ide ini tiba-tiba meledak di otakku. Aku pun makin giat membuat proposal.

***

Sepanjang hari ini aku sibuk dengan proyek kemanusiaanku. Jejaring di Facebook sedikit banyak membantu aku. Banyak yang memberi jempol ketika aku menuliskan status kegiatanku ini. Wah....jadi tambah semangat. Satu dua hari ini aku harus selesaikan semua proposal dan mengirimkan ke Mbak Tania di majalah remaja, Pak Danu mantan direkturku dulu, Mas Apri juragan mainan anak-anak itu, Pak Dede yang akan yakin banget akan membantu serta Ibu Surya, HRD perusahaan makanan anak-anak. Pada kelima orang ini aku benar-benar berharap mereka akan memberikan apresiasi untuk kegiatanku. Enam proposal lainnya aku kirim ke perusahaan-perusahaan lain sebagai cadangan.

Seminggu dua minggu sambil menunggu jawaban proposal-proposal itu, aku merapikan foto-foto hasil karyaku dan sumbangan beberapa teman. Akhir minggu kedua belum juga ada jawaban. Kesibukanku menjadi juri foto di berbagai event dan memotret berbagai acara membuat aku tidak intens komunikasi untuk mengecek proposalku.

***

”San, maaf ya. Bulan ini banyak sekali yang minta sponsorship. Proposalmu masuk dah tanggung bulan,” jawab Mbak Tania di seberang telepon. Jawaban pendek yang membuat aku lemas. Ini penolakan pertama. Kenapa sih tega tidak memberikan bantuan untuk kegiatan kemanusiaan? Uang makan siang Mbak Tania saja bisa untuk hidup dua keluarga di Cakung selama dua minggu. Ihhhhhhhhhhhh....geram aku rasanya.

”Ya sudah

Terjerat Bayang-bayang Penggusuran

Berbincang dengan Kak Debby, seolah menjadi penguatan bagiku. Ketika hidup riuh dengan dunia yang gemerlap, tuntutan materi dan penilaian sosial. Ketika orang selalu mendongak ke atas dan enggan melihat ke bawah. Ketika pengotakan makin nyata, antara yang punya dan papa. Ketika pribadi-pribadi hanya dinilai dari deretan Nomor Induk Karyawan atau pengodean yang lainnya.

”Anak-anak yang belajar di sini makin banyak, sementara tempat sangat terbatas. Tapi kami tidak mungkin menolak,” ujar Kak Debby.

Kini memang tak ada lagi penolakan dari lingkungan seperti tahun-tahun awal. Ketika belajar harus selalu berpindah-pindah dari bedengan satu ke yang lainnya. Ketika orang tua enggan membawa anaknya ke sanggar untuk belajar. Ketika pengurus wilayah mengharuskan ada setoran untuk kas rutin.

”Gampang-gampang susah untuk merangkul warga. Ketika sudah dekat dengan mereka pun, tidak begitu saja bisa melakukan kegiatan bersama,” ujar Kak Debby.
Ia pun menceritakan kisah menarik.
Pernah suatu ketika ia mengajak beberapa teman dokter untuk memberikan penyuluhan tentang Keluarga Berencana secara alami. Banyaknya anak dari keluarga-keluarga di sini menjadi keprihatinannya tersendiri. Banyak anak membuat perhatian orang tua tidak maksimal, terlebih ketika harus bergulat untuk sesuap nasi setiap harinya.

Gio misalnya, sejak usia empat bulan sudah ditinggal orang tuanya buruh mencuci. Lina Lini yang usianya belum belum genap 6 tahun harus menjaganya. Begitu juga dengan Fajar, ia seringkali merengek bila ditinggal pergi ibunya. Dan ini tak hanya satu dua anak yang mengalaminya.

”Inginnya memberikan penyuluhan tentang keluarga berencana alami. Tapi begitu tim dokter masuk, mereka ternyata lebih konsern dengan masalah sanitasi dan kesehatan,” ujar Kak Debby. Ia tak memungkiri komunitas di Cakung ini jauh dari standar sanitasi yang jamak diterapkan masyarakat.Kak Debby sadar betul, dalam kondisi sosial yang tidak menguntungkan ini, banyak anak makin menegaskan arti tidak akan banyak mendapat rezeki. Banyak anak justru meratakan kemiskinan itu sendiri.

”Banyak yang ingin kami lakukan bersama-sama,” tambahnya. Pernah ia mempunyai keinginan adanya sumber air bersih di wilayah ini. Tetapi bagaimana dengan mekanisme pembayaran dan perawatannya. ”Status administratif sangat menyulitkan mereka,” tambahnya. Hidup di wilayah yang tak jelas tuannya, membuat langkah tak leluasa bergerak.

”Belum lagi saya terus kepikiran, kalau penggusuran akan dilakukan dua tahun lagi. Entah dimana mereka akan tinggal dan belajar. Itu justru yang menjadi keprihatinan mendalam saya,” ujarnya.
***

Dan otakku pun berputar makin kencang. Adrenalinku bergejolak: aku harus melakukan sesuatu! Sekecil apapun itu!

FAJAR, ADIKKU

Nama saya Intan. Umur saya 7 tahun. Saya duduk di kelas II SD.
Saya mempunyai adik bernama Fajarwati. Ia adik perempuan saya. Ia anak kedua.

Ia lucu, suka bercanda.
Ia suka makan jagung walau masih panas karena dia tidak takut panas.
Ia suka mangga, bila diambil ia menangis.
Kalau sakit, ia tidak mau makan.
Ia masih sering ngompol. Ia masih menyusu.

Ia suka menangis bila ditinggal Mama kerja mencuci di rumah orang.
Kalau sudah ngambek, bila digendong dia pasti menangis.
Ia suka berantem dengan Gio. Ia juga suka berantem dengan saya.
Ia cerewet sekali. Kalau ditemani, ia tidak mau tidur.
Saya sayang Fajarwati.

November 2009.

Aku temukan puisi yang ditulis Intan, gadis cilik dari Komunitas Anak Cakung. Puisi yang ditulis akhir tahun lalu. Dokumentasi yang disimpan Kak Debby membantuku mengenal komunitas ini lebih dekat lagi. Kebetulan siang itu – saat diadakan berbagai lomba dan pembagian raport di Cakung, aku berhasil duduk dekat-dekat dengan Intan.

Ia baru saja menyelesaikan pembuatan pigura. Tangannya baru saja usai menyusun biji-biji merah saga untuk penghias framenya. Dia masukkan gambar artis di dalam pigura tersebut. Semyum menghias bibirnya. Pigura itu ia kumpulkan di sudut tempat belajar, berjejer dengan beberapa frame lainnya.

“Nanti akhir bulan aku mau pentas,” ujarnya tanpa aku tanya. Ia sudah lebih nyaman berbincang dengan aku, setelah beberapa kali aku mengunjungi rumahnya. “Nari Jali-jali,” tambahnya. Hampir seminggu penuh belakangan ini ia sibuk berlatih. Pentas tersebut akan diadakan di halamam sekolahnya, menyambut liburan panjang kenaikan kelas.

Oh ya, selain di sekolah, Komunitas Anak Cakung juga membagikan raport hasil belajar. “Tidak hanya prestasi akedemik. Lebih penting menekankan pada pembelajaran kepribadian anak, kehadiran dan tanggung jawab,” ujar Kak Debby. Sempat tadi aku lirik nilai Intan yang dikerjakan Kak Rikka. Dia dapat total nilai 74. Sementara hasil di sekolah negerinya ia mendapat nilai 9,2 untuk Bahasa Indonesia, 8 untuk matematika, IPS dengan nilai 8, tujuh untuk PLBJ dan PLKJ, nilai 8 lagi untuk PKN, IPA dan Agama. Nilai Bahasa Inggris ia lupa sebutkan. ”Yang susah ngapalin Bahasa Arab dan nulis Arab, ujarnya.

”Kalau aku tidak bisa perkalian,” ujar Dirno menimpali. ”Tapi nulis Arab juga susah,” tambahnya.

***
”Ayo sudah kumpulkan semuanya. Rapikan meja. Anak yang kecil dulu yang cuci tangan,” ujar Kak Uju. Anak-anak pun merangsek ke ember pink di ujung sanggar belajar itu. Tak berebut. Beberapa menanyakan lap untuk mengeringkan tangan yang lupa disiapkan pendamping.

Orang-orang tua sibuk menyodorkan piring dan sendok untuk anaknya. Lainnya sudah menumpuk piring dan sendok di bale-bale untuk meletakkan dua panci besar bubur Manado. Sambal teri menggoda dengan warna merahnya.

Masing-masing dibagikan 1,5 – 2 centong dengan satu sendok sambal teri. ”Benar nih doyan pedas,” tanya Kak Mala pada Lina dan Lini, si kembar berambut merah.

Suasana makan yang menyenangkan. Ramai tapi tidak berebut. Beberapa minta tambah. Seorang anak akan membuang makanan yang tak dihabiskannya. Masih ada beberapa potong ubi kuning dan sayuran campuran bubur Manado. ”Tadi sudah dibilang ambil secukupnya. Tidak boleh ada yang buang makanan. Kalau tidak habis besok lagi tidak akan dibagi,” ujar Kak Debby yang juga dipanggil Oma di Komunitas Anak Cakung.

”Ini makan pertamaku,” ujar Intan. Ia memang hanya makan satu kali sehari. Mamanya tadi sempat keluhkan kebiasaan makan putri ciliknya ini. Badan Intan tinggi langsing. Kalau sudah makan pagi, siang ia jajan di sekolah dan malam ngemil jajanan lagi. Kalau pagi tidak makan, siang ia jajan di sekolah dan sorenya baru makan.

”Susah benar makannya dari kecil. Tapi untunglah sehat sekarang, waktu kecil juga sakit-sakitan seperti Fajar,” ujar Mama Erni, mamanya Intan. Sementara Fajarwati adiknya, lebih suka makan ubi dibandingkan nasi. ”Anaknya bosenan,” tambah Erni.

Usai makan adalah saat yang ditunggu-tunggu: pembagian raport dan hadiah. Kakak-kakak pendamping sudah siapkan banyak hadiah yang dibungkus kertas koran. ”Setiap anak yang rajin akan dapat hadiah, begitu juga yang rajin nabung,” ujar Kak Rika. Firman, lelaki kecil berusia lima tahun disebut namanya karena paling rajin nabung. Tidak peduli berapa pun jumlahnya, tetapi ia tiap hari selalu nabung.

Lina Lini dapat dua bungkus kado untuk kehadirannya yang dianggap paling rajin. Dua hadiah istimewa diberikan untuk Mayang dan Ari untuk tanaman sawi mereka yang tumbuh subur. Biji sawi tersebut disemai dalam botol bekas infus yang dilubangi. ” Ini dalam rangka Hari Bumi anak-anak diajari menanam dan memelihara tanamannya,” ujar Kak Uwi.


Sebagian besar anak mendapatkan hadiah untuk berbagai kategori. Beberapa diantaranya justru mendapatkan dua tiga hadiah sekaligus. ”Yang pasti setiap anak mendapatkan pensil atau barang-barang kecil lainnya yang sama. Kami mengajarkan agar mereka peduli dengan barang milik sendiri dan tidak mengambil barang milik temannya,” ujar Kak Debby. Ia prihatin, anak-anak seringkali mengambil barang-barang kecil seperti pensil dan penghapus milik temannya. ”Kepedulian ini harus ditanamkan. Mengajarkan mereka menghargai milik sendiri dan orang lain,” pungkas Kak Debby.

Pembagian Raport...

Aku merasa lebih nyaman menyambut hari Minggu ini. Sudah ada kegiatan yang pasti: mengunjungi anak-anak di sanggar belajar Komunitas Cakung. Seperti dua minggu lalu, aku jemput Ikka di Cempaka Putih. Kali ini aku tepat waktu.Laju dari Cempaka Putih menuju Cakung pun terasa lebih lancar, meski di beberapa titik aku jumpai kendaraan yang tersendat.

Masuk ke Jalan Kayu Tinggi, aku sudah melihat angkot merah yang akan lewat di Komunitas Cakung. Merah yang genit menurutku. Jalanan masih basah dibilas sisa gerimis yang baru beberapa saat berhenti. Anomali cuaca sepertinya. Wiper mobil masih meliuk ke kanan dan ke kiri. Aku tidak lagi menghitung steam mobil, rasanya aku sudah hafal di mana mesti berhenti nanti. Toko roti, kios pulsa, tempat belajar PAUD, laundry, toko kelontong, tempat jualan jus buah, toko material, salon, tempat embroderi. Mataku seakan memindai deretan kios dan warung yang aku lewati. Aku sempat melirik sekolah Intan.

Mendadak motor yang dikendarai dua remaja oleng di depanku. Reflek mobil segera aku hentikan. Mungkin anak laki-laki di boncengan tidak bisa seimbangkan bawaan mereka, bawang putih kupas. Untung saja bawang putih kupas yang di dalam kantong beras tak ikut tumpah. Mereka hanya nyengir saja. Bawang kupas yang mungkin dikerjakan ibu mereka seharian.

”Aku rela jadi hujan, kalau kemarau hatimu.......” lengkingan lagu dangdut dari radio yang disetel siang itu seakan menyambutku di lorong masuk ke Komunitas Cakung. Kali ini adalah kunjungan kedua bagiku.

Aku hanya senyum saja mendengar lagu itu. Agak geli saja rasanya.

***
Hari ini aku bertemu muka dengan Kak Debby. Aku pikir orangnya tinggi besar dan tegas. Ternyata Kak Debby kecil saja perawakannya. Tutur katanya sangat halus. Tapi soal ketegasan tak bisa kusangsikan.

Kami bersalaman di rumah orang tua Zidan yang siang itu dipakai untuk lomba memasak.Emper rumah dihiasai dengan bale-bale sederhana. Di sebelahnya disiapkan kompor gas yang sudah memangku satu wajan besar dan satu panci berisi air, beras dan ubi. Dibumbuinya bahan-bahan tadi dengan jahe, serai dan daun pandan. Siang itu mereka ujian praktik masak bubur Manado.

“Wah serai ini ngajak berantem rupanya,” spontan Ondo, adik Esther mengucapkan kalimat itu. Semua tertawa melihat adukan Ondo yang terbelit daun serai. Dia pun beralih ke aktifitas lain.

Ia memasukkan terasi ke nyala kompor. Sayang terasi tak ditusuk besi, jadinya masuk ke sisi dalam nyala kompor. Besi yang ia pegang tidak bisa menjangkaunya. Kami semua tertawa, terlebih bau terasi sudah sangat menyengat. Wah bisa kubayangkan lezatnya bubur Manado dengan sambal terasi. Makanan kesukaanku.

Aku pamit sejenak ke Kak Debby. Kali ini menuju rumah Esther. Di sana sudah ada Rika, Uju dan Uwi. Mereka sibuk menebalkan huruf-huruf di atas kertas Buffalo hijau muda.
”Evaluasi Belajar Komunitas Anak Cakung Kategori III dan IV, Jakarta 20 Juni 2010” Tulisan itu yang sempat aku baca. Bertiga sedang sibuk menyiapkan raport untuk anak-anak yang belajar di Komunitas Cakung.

Di ruang belajar riuh suara anak-anak kecil. Mereka disibukkan dengan lomba mewarnai, lomba gambar dan membuat pigura. Tadi sempat aku lihat Mama Erni – Ibunya Intan di sana, menunggu Intan menyelesaikan piguranya. Anak-anak lain juga ditunggui orang tuanya.
Intan mendapat nilai 74 untuk pelajaran yang dinilai: bahasa Inggris, matematika, bahasa Indonesia. Ia salah menuliskan burung dalam bahasa Inggris menjadi brid, padahal harusnya bird. Total nilai Dirno 15, Pedro mendapat 30.

“Yang dinilai bukan hanya pelajaran saja, tetapi lebih penting sikap, tanggung jawab dan kepribadian anak. Itu bedanya dengan sekolah umum,” ujar Kak Debby saat pembagian raport siang itu.

Raport ini dibagikan tiap empat bulan.
***
Gadis kecil berambut merah Lina dan Lini baru saja selesai menggambar. Kiki menggambar busway, jalan, bunga dan orang. Pensil warna hitam tumpul tak bisa ia gunakan.

Adit menggambar durian warna kuning dan hijau. Selain rambut merahnya, kini di dahinya dihiasai dengan bisul yang siap pecah. Ah miris melihatnya. Pasti meradang rasanya. Tapi ia tetap ceria. Dan selalu nempel di dekatku.

Nanti aku cerita lagi ya serunya pembagian raport siang itu...

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes