Setiap dengar bel sekolah, dia nangis. Dia takut sekolah

Tak semua anak berambut merah dan berat badannya lebih ringan dari yang seharusnya. Dirno, Jingga, Ester dan Intan adalah anak-anak yang tumbuh sehat. Kulit mereka segar, rambut lebat dan hitam. Gerakan mereka lincah.

Dirno, si pemalu yang usil. Jingga manis dengan senyumnya. Siang itu dia memakai kaos oranye. Intan, pendiam dengan sorot mata cerdasnya. Sambil melihat-lihat lagi foto-foto mereka, aku seringkali jadi senyum-senyum sendiri. Ingat kelakuan-kelakuan yang membuat aku terbahak di lapangan waktu itu. Kembar yang berlompatan minta gendong. Atau Adit yang ngepot dengan sepeda kecilnya di gang. Dirno dan teman-temannya yang berlari lepas di pematang sawah. Rambutnya berkibaran. Ah, betapa gembiranya.

Ah ya, berlian itu memang bernama Intan. Berlian yang sesungguhnya. Berlian tetaplah berlian meski berada di tumpukan sampah sekalipun, bukan? Begitulah Intan.

”Nama saya Intan. Umur tujuh tahun. Sekolah di 09 pagi. Kelas 2A,” ujar Intan saat perkenalan. Lengkapnya Intan Delima.

Gadis cilik yang sederhana. Matanya besar bersinar. Siang itu ia memakai baju bahan jean tanpa lengan. Kaos dalamnya yang berwarna putih terlihat di balik baju
u can see nya. Celananya di atas mata kaki. Kulitnya coklat cerah. Tingginya hampir satu meter, cukup tinggi untuk anak seumurannya. Intan pendiam. Sepintas tak ada yang istimewa dari penampilannya.


***
Erni Sulistyaningsih, Mama Intan menemaniku ngobrol di depan rumahnya. Fajarwati, adik Intan satu-satunya, lengket dalam pangkuan mamanya.

”Susah tidur kalau di dalam. Mungkin panas. Tidur susah, makan juga susah,” ujarnya mengomentari badan Fajar nampak lebih lebih kecil dari anak seumuranya, setahun. Rumah Intan tepat di samping tempat belajar bersama. Luasnya mungkin 8 x 5 meter. Lantainya disemen. Di ruang tamunya ada hamparan karpet, TV model lama, dan kipas angin besar.

Aku tidak bisa mengintip lebih dalam lagi. Tapi pasti tempat tidur.”Cuma anak-anak yang tidur di kasur, Fajar dan Intan. Yang gede-gede tidur di luar,” ujar Erni. Aku mengangguk wajar kalau Fajar tak jenak tidur di dalam kamar.

“Sering sekali dia sakit. Hampir seminggu sekali ke puskesmas. Kalau sudah panas, pasti tidak mau makan, netek saja,” tambahnya. Waktunya tersita banyak untuk lebih memerhatikan Fajar.

”Perutnya bermasalah. Sering kembung,” lanjut perempuan asli Betawi ini.

Selain Erni, Fajar dan Intan, di rumah itu tinggal pula nenek Sri Harjati. Ayah Intan dan kakeknya. Kakek Intan sibuk menipiskan tali lini, tanaman dari rawa berbentuk seperti daun pandan panjang. Tali lini ini ditipiskan, satu batang bisa menjadi enam atau delapan potongan tipis memanjang. Usai dijemur kering, tali ini digunakan untuk mengikat sayur-sayuran.

Hampir rata-rata lelaki tua di sana sibuk menipiskan tanaman tersebut. Juga kakek Carya, kakeknya kembar.

”Sudah ada yang datang ngambil nanti, disetor ke pasar.Setiap hari begini, sejak dulu,” ujar kakek Intan. Jujur, aku belum pernah lihat sebelumnya tanaman rawa yang satu ini. Dan aku tidak sempat bertanya, dari rawa mana, lini diambil.

Fajar merengek di pangkuan Erni. Mungkin gerah. Sejenak Fajar terlelap ketika disusui tadi. Usapan lembut di paha Fajar menenangkannya. Dia pun kembali tertidur.

Sebetulnya selain Intan dan Fajar, ada satu anak lagi, tetapi meninggal.

Ayah Intan menggarap sebidang tanah di belakang rumahnya. Ditanaminya macam-macam. Kadang kacang dicampur terong, juga ada genjer dan kangkung. Yang selalu bisa dipanen adalah kangkung. Usai disemai benih, kangkung cabut sudah bisa dipanen selepas dua puluh hari. Genjer tinggal ditancap saja, panennya bergilir, dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Kacang akan dipanen setelah 2 bulan, sekali panen bisa 10 kilogram. Terong akan dipetik empat hari sekali setelah ditanam selama 35 hari.
***


Dari tanaman kangkung cabut, ayah Intan bisa memanen dua gabung kangkung untuk dijual ke pasar. Panen sore, sore itu pula diantar ke pasar. Satu gabung 25 ikat kecil kangkung. Paling tidak dengan dua gabung, ia mendapatkan Rp 10.000. Total jendral lelaki asal Indramayu ini mendapatkan Rp 20.000-Rp 30.000. Semuanya diserahkan ke istrinya.


”Kadang dikasih Rp 30.000, kadang kurang. Pernah juga hanya dikasih Rp 7.000,” ujarnya.

”Saya sih cuma bisa bengong saja. Untuk beli beras juga tidak cukup. Tapi bagaimana lagi, ya dijalani saja,” lanjutnya.

Pemberian suami itu ia bagi-bagi. Sebagian untuk belanja dan makan sehari-hari, lainnya untuk jajan anak-anaknya, sebagian disisihkan untuk bayar “sewa” tanah dan listrik. Pembayaran tanah dan listrik ditanggung dengan orang tua dan adiknya yang ikut bergabung di rumah itu. Tiap enam bulan, mereka harus bayar Rp 400.000 ke seseorang di daerah itu. Tapi tidak ada jaminan bahwa mereka aman dari penggusuran.

***

“Dulu setiap dengar bunyi bel sekolah, dia selalu nangis. Saya jadi bingung. Dia ketakutan setiap sekolah,” ujar Erni mengenang saat awal mengantarkan Intan ke sekolahnya.

SD 09 Pagi Cakung Timur berada di belakang SD 04 yang berada di tepi jalan raya. Bel sekolah selalu menakutkan buat Intan. Takut ditinggal ibunya. Takut karena asing dengan tempat belajarnya. Mungkin belajar formal ini mengagetkan buat Intan.

“Dia tidak pakai TK segala seperti anak-anak lain. Langsung masuk SD,” tambah Erni.

Kebingungan menghadapi sikap anaknya ini membuat Erni pulang ke kampung suaminya di Indramayu sementara waktu. Dia bertanya - entah ke dukun atau siapa, Erni tidak jelaskan – kenapa anaknya takut dengan sekolah. Ia khawatir anaknya kena apa-apa. Jawabannya melegakan, tidak ada apa-apa, nanti juga akan biasa. Mendengar jawaban itu, bergegas ia kembali ke Jakarta.
Beruntung Intan tekun belajar. Erni, mantan buruh pabrik sweater rajut ini memang keras menerapkan disiplin belajar. Pulang sekolah, Intan mengulang pelajaran dan mengerjakan PR.

“Saya tidak kasih dia keluar rumah kalau Intan tidak mau belajar bersama di sanggar. Malu sama teman-temannya,“ paparnya.

“Satu kali pun dia tidak pernah bolos sekolah. Kalau mengeluh pusing, saya kasih obat dan harus makan, lalu berangkat. Sekolah itu harus,” tegasnya.
Di kelas satu, Intan rangking 13 besar. Tetapi kelas dua, Intan mendapat rangking satu.

”Saya juga heran. Kok jadi juara satu. Waktu ambil raport saya malah kaget, kok bisa ya,” ujarnya berbinar. Rasa bangga bersinar di matanya.

Prestasi ini membuat Erni sering ditanya tetangganya di luar Cawang Sawah. ”Anaknya juara ya Bu? Les dimana?” pertanyaan yang seringkali didengarnya. Rasa bangga pun menyeruak di dadanya.
”Mana ada uang untuk les. Intan hanya belajar bersama di situ. Sama kakak-kakak yang mendampingi. Beruntung dia memang cerdas, beruntung pula ada tempat belajar bersama,” tambahnya. Berita gembira ini membuat orang tua dari kampung lain tak segan mengantar anaknya belajar bersama di komunitas Cakung ini. Padahal dulu ketika tempat belajar dekat dengan kampung mereka, mereka enggan mengajak anaknya untuk belajar bersama. Kini mulai banyak anak-anak di luar Cakung Sawah yang berinteraksi di komunitas.

Lina Lini Si Rambut Merah

Aku mulai kutak-kutik foto-fotoku dari pertemuanku dengan anak-anak Cakung Sawah. Lagi-lagi rambut merah jadi perhatianku. Berat badan anak-anak yang kurang. Juga penyakit kulit. Oh ya, aku lupa cerita. Kemarin aku juga mengunjungi rumah si kembar Lina dan Lini.

Tinggi gubuknya tak lebih dari 1,5 meter. Orang dewasa harus menunduk untuk masuk ke dalamnya. Dindingnya dari tripleks yang sudah lubang di sana sini. Ditopang beberapa bambu, sebagai penguat. Atapnya dari beberapa papan yang dilapisi plastik. Ukuran rumahnya tak lebih dari 3 x 4 meter. Masih disambung tutup terpal biru dan bagor putih di samping pintu rumah, tempat meletakkan barang-barang bekas, hasil kerja ayah si kembar. Di depannya teronggok barang-barang tak terpakai.

Aku melongok ke dalamnya. Gelap. Beralas tanah. Selain kembar, ada pula empat anak yang lain. Paling kecil Gio. Umurnya mungkin sudah lebih dari setahun. Di halaman depan rumah, Gio kecil berjalan telanjang ke sana kemari. Ibunya buru-buru memakaikan baju ketika aku mampir rumahnya. Sempat kulihat, sekujur tubuh Gio, penuh bercak-bercak putih. Dari atas badan hingga ke kakinya. Panu? Atau? Dan ternyata bukan cuma Gio, ada beberapa anak lain pula.

Saat kutinggalkan rumah Lina dan Lini, aku sungkan membiarkan pikiranku membayangkan bagaimana kalau turun hujan. Lantai rumah becek dan yang pasti tak bisa ditiduri. Lalu bagaimana anak-anak kecil itu istirahat?

Ah pikiran yang sibuk sendiri. Sementara lihat! Lina sangat gembira dengan apel besarnya. Digerogotinya apel itu sambil bermain-main dan tiduran di ban bekas yang teronggok di depan rumahnya. Dia bahagia. Anak perempuan kecil dengan celana kuning cerah dan kaos merah menyala. Lengkap dengan rambut merahnya. Kembar satunya entah sudah lari kemana.

***

Benakku makin beradu. Konsentrasi mengedit gambar dan bertanya-tanya kenapa berambut merah, kenapa bertotol-totol putih. Kenapa Fajarwati, adik Intan sering sakit. Hampir dua jam aku berkutat dengan laptopku. Sebagian besar foto sudah aku
retouch. Aku tidak tahu jawabnya, kenapa pekerjaan sosial bersama Ikka ini menyemangatiku. Aku berusaha membuat foto semenarik mungkin. Ikka bilang foto-foto itu nantinya untuk akan digunakan untuk mencari dana untuk kegiatan sosialnya.

Menunggu senja, aku iseng mencari informasi kurang gizi di internet.
…….


Kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga. Pertama, disebut sebagai Kurang Energi Protein Ringan. Pada tahap ini, belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan si anak hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal.


Kedua, disebut sebagai Kurang Energi Protein Sedang. Pada tahap ini, berat badan si anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang bisa dilihat dengan jelas adalah wajah menjadi pucat, dan warna rambut berubah agak kemerahan.



Ketiga, disebut sebagai Kurang Energi Protein Berat. Pada bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu kurang sekali, biasa disebut Marasmus. Tanda pada marasmus ini adalah berat badan si anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal.


Selain marasmus, ada lagi yang disebut sebagai Kwashiorkor. Pada kwashiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain adalah kaki mengalami pembengkakan, rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea, sehingga mata bisa pecah. Selain tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut, ada juga tanda lainnya, seperti penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut misalnya adalah anemia atau kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan, serta pecah-pecah di sudut mulut.


Ah......mengerti aku kini. Entah pada tahap satu, dua atau tiga, sebagian besar anak-anak itu menderita kurang gizi. Penyebabnya pun beragam:


Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut mempengaruhi. Dengan demikian, perhatian si ibu untuk si kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya si kakak menjadi kurang gizi.

Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-penyakit lain. Selain itu, yang

ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak mudah sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang gizi.

Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi.


Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis mereka akan kekurangan gizi.

Keenam, selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan.


Hampir semua faktor penyebab komplit ada di Cakung Sawah. Mungkin juga di banyak daerah lain di Indonesia. Bagaimana pun anak-anak itu konsumen pasif, mereka belum bisa mengurus dirinya sendiri termasuk untuk makanan.

Aku salut dengan Kak Debby, Rika, Uju, Mala, Indri, Qori dan pendamping lain yang sampai saat ini masih terus datang untuk membantu anak-anak belajar, memberi contoh hal-hal kecil tentang hidup sehat.

***

Aku tahu, bukan pekerjaan mudah untuk membuat tempat belajar bersama di Cakung Sawah. Tahun-tahun awal, yang terjadi justru penolakan demi penolakan. Satu setengah tahun berdiri, perangkat desa setempat tidak memberikan izin. Ada syarat yang harus dipenuhi: menyetor dana untuk kas desa secara rutin. Ini tentu saja berat. Kegiatan ini murni kegiatan sosial, proyek nurani.
Ketika orang tua mereka sibuk bergulat agar mereka dapat bertahan hidup, perhatian terhadap perkembangan anak pun akan berkurang jauh. Kemiskinan yang lekat dengan kebodohan makin menjauhkan mereka dari akses informasi tentang tumbuh kembang anak yang seharusnya. Kebutuhan pendidikan dasar dan pengetahuan umum tidak lagi menjadi prioritas dalam kemiskinan mereka. Inilah yang mendasari Debby memulai pekerjaan besarnya di sini.

”Lewat pendidikan alternatif, kami hanya ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang penuh percaya diri, otentik dan integral,” ujar Kak Debby panjang lebar dalam surat elektroniknya kepadaku.

Pelajaran sederhana sebetulnya, tetapi entah mengapa tumbuh keyakinanku bahwa ini adalah pembelajaran yang benar: lebih penting membentuk karakter dan kepribadian anak daripada hanya sekedar membuatnya cerdas, tetapi abai etika.

Mungkin ini sekolah yang sebenar-benarnya. Sekolah yang membuat anak-anak nyaman belajar di dalamnya. Sekolah yang menyesuaikan diri dengan anak-anak. Bukan sekedar tembok megah yang justru memaksa anak-anak untuk menyesuaikan diri dan tunduk dengan sekolahnya, bagai penjara.

***

Ah ya, tiba-tiba banyak ide bersliweran dalam benakku. Kubagi nanti ya.



Rasa Hangat Menjalari Dadaku

Anak-anak Cakung Sawah yang sangat sederhana. Tempat belajar yang jauh dari mewah.
Di samping tempat belajar itu ada empang kecil dua tiga buah. Juga ditumbuhi pohon. Aku tidak tahu, apakah itu juga semacam jamban yang aku temui di ladang pertanian mereka, dengan lele di dalamnya. Aku malu bertanya.Tak jauh dari balik terpal coklat, tempat penahan tampias air hujan, ada kandang ayam. Beberapa anak ayam kecil di dalamnya. Mungkin milik adik Ester, Johanes dan Ondo, ketiganya anak Mama Yunita.

Aku tidak perlu membayangkan bagaimana sanitasi di daerah tersebut. Gubuk-gubuk yang nir MCK. Sumur pompa hanya ada dua buah. Itu pun asin airnya. Untuk keperluan sehari-hari mereka membeli air di rumah Mama Lala. Dua jerigen Rp 1.200. Setara dengan 40 liter. ”Hanya rumah Mama Tia yang punya PAM,” ujar Rika.

Pandanganku kembali ke anak-anak. Lina dan Lini, si kembar yang usil. Lini terutama. Selalu menggoda. Ekspresinya kalau di foto selalu dengan jari membentuk salam metal. Coklat emas warna kulitnya. Dan juga rambutnya. Nyaris mendekati merah.

Tidak hanya Lina dan Lini yang berambut merah. Kuhitung ada delapan anak yang berambut merah tak sehat. Tumbuh tipis dan membuat penampilan mereka tak segar. Pertanyaan: kenapa...kenapa dan kenapa memenuhi benakku. Mengapa mereka berambut merah tak sehat? Apakah karena lingkungan yang buruk atau sanitasi yang jelek. Bisa jadi juga karena kurang gizi.

Aku juga tidak sempat tanya ke Rika.

Siang itu Ikka membawa banyak apel. Pendamping sendiri sudah menyiapkan dua tas kresek besar pisang masak, berwarna kuning.

Meskipun terbiasa dengan kekurangan, mereka tak berebut pisang dan apel itu.
Ah jadi ingat cerita monyet yang serakah.Monyet di beri dua pisang. Masih ingin lagi. Dia ambil satu digigit di mulutnya, dua tetap di tangan. Lalu dia tetap masih ingin. Dua pisang pun dijepit dengan kakinya. Aku selalu tertawa ingat cerita ini yang pernah disampaikan Daurie, temanku saat dia mengajar anak-anak jalanan di tempat lain. Dan anak-anak yang tadinya berebut, menjadi tertib seketika.
Tapi di sini, mereka tidak berebut. Masing-masing tertib menuju ember merah berisi air di ujung depan sanggar belajar mereka. Membasuh tangannya, menyabun dan membilasnya. Tangan pun dikeringkan dengan dua serbet yang sudah disediakan. Pisang dimakan dan kulitnya dikumpulkan dalam kresek merah yang diletakkan di tengah. Apel mereka bawa pulang. Yang aku tahu kemudian, dibelah dan dimakan dengan anggota dua atau tiga keluarga yang lain.

Tak sekedar penambahan gizi yang dilakukan Kak Debby dan teman-teman di sini ternyata. Mereka pun mencontohkan perilaku hidup sehat. Langkah kecil, tapi besar manfaatnya. Kali ini Apel dan pisang, kali lain susu, bubur kacang ijo, es buah atau bubur sunsum.


“Kami juga mengajak mereka wisata setahun sekali. Ke Ragunan, Monas dan Kebun Raya Bogor,” ujar Kak Uju ,seorang pembina. Dari uang tabunganlah kegiatan rekreasi itu dijalankan. Tak hanya anak-anak yang menabung, meski hanya seratus dua ratus. Beberapa ibu-ibu pun menitipkan uangnya. Kadang seminggu sekali, kalau tak ada ya sebulan sekali. Nama mereka pun dipajang di dekat mading. Ada Nenek Sri Haryati, Mama Tia, Mama Mayang, Mama Zidan dan Mama Intan. Bulan itu tabungan mereka tertera Rp 4.000, Rp 9.000, Rp 10.000 dan paling banyak Mama Intan, Rp 30.000.

Ah, tak hanya anak-anak yang belajar rupanya. Virus kebaikan itu juga menjalar ke orang tua.

Saatnya Berpisah, Saatnya Berkarya

Tak terasa waktu 1,5 bulan berlalu dengan cepat. Sekarang aku sendiri lagi.
Minggu kemarin adalah saat-saat akhir aku menimba ilmu di Darwis Traidi School of Photography, di pojokan patung Pizza Man itu. Setiap Selasa dan Jumat aku hadir mendengarkan tentang seni mengabadikan dunia ini, dari para master, termasuk juga Babe Darwis sendiri.

Aku bersama kurang lebih 13 orang, mengikuti berbagai pembahasan tentang art photography, corporate photography, foto jurnalistik, Lighting caracter…dll…seru pokoknya. Ternyata dunia foto ini jauh lebih kompleks dari yang kuduga sebelum. Beruntung aku bisa ikut kelas di sini.

Keasyikan yang lain adalah teman-temanku satu kelas. Mereka punya latar belakang dan motif yang berbeda-beda. Ada yang sudah profesional seperti Bang Renato, atau Amboet yang belajar untuk membuka studio foto di kota asalnya , Banjarmasin.


Tapi ada juga yang ikut kelas ini hanya sekedar hobi saja seperti mbak Indah. Lewat teman-teman inilah, aku banyak belajar. Aku? Fotografi adalah hobiku mengisi waktu, tetapi tetap ngarep.com suatu ketika karya-karyaku bisa dihargai secara professional.
Kamis minggu lalu, kami satu kelas bikin farewell party kecil-kecilan, di studio , lalu dilanjut ke City Walk. Sebenarnya ini farewell untuk melepas Amboet yang akan pulang ke Banjarmasin dan mewujudkan cita-citanya membuka usaha studio foto. Semoga sukses teman doian yah…

I want to be your friend……

Aku merasa sedikit nyesel datang terlambat ke Komunitas Cakung Sawah. Andai saja lebih pagi, pasti banyak momen menarik yang bisa aku abadikan. Senyuman mereka, ekspresi ingin tahu, kenakalan, kekonyolan juga keseriusan dari wajah anak-anak yang tidak pernah bisa aku reka ulang. Spontanitas mereka selalu tampil menarik dalam kameraku. Ikka memang mengajakku ke sini untuk memotret komunitas ini. Pekerjaan mudah bagiku, karena memang inilah profesi satu-satunya yang paling aku sukai.

***
Dua puluhan anak duduk melingkar di atas lantai semen beralaskan karpet plastik hijau. Dari yang berumur lima tahun sampai sepuluh tahun. Senyum tak lepas dari bibir mereka. Anak-anak selalu senang kedatangan tamu. Saat dimana mereka bisa memamerkan kebolehan bernyanyi dan membuat karya. “Nama saya Kiki, umur tujuh tahun. Sekolah di sini, rumah di sono,” ujarnya sambil menunjuk ke satu arah. Yang lainnya nyengir mendengar perkenalan Kiki. “Nama saya Pipit, umur delapan tahun, rumahnya di situ.” ”Nama saya Jingga, umur enam tahun, rumah di Cakung Sawah.” ”Nama saya Prihatin, umur sepuluh tahun. Kelas empat SD Cakung Timur 08 Petang.” ”Nama saya Intan, umur tujuh tahun. Kelas 2 SD 09 pagi.

Masing-masing mengenalkan dirinya, bahkan Firman dan Soni yang baru berumur lima tahun. Anak terakhir, Dirno perlu waktu agak lama untuk memperkenalkan dirinya.

”E.........e.....diam semua, aku gak bisa ngomong kalau ramai...” ujar Dirno. Rika meminta semua diam agar Dirno bisa memperkenalkan diri. Tapi yang keluar hanya suara aaa......ee......dan garuk-garuk di kepalanya yang tidak gatal. ”Saya Dirno dari luar negeri,” celetuk seorang perempuan yang duduk di belakang Dirno, menggoda. Semua tertawa. Dirno pun makin tak siap. Perkenalanpun gagal. Rika akhirnya mengenalkan Dirno. Dia menyebutnya sebagai anak yang pemalu. Tetapi Dirno pula yang sering membuat rusuh suasana belajar.

Tepat dua puluh anak. Jumlah seluruhnya sebenarnya ada 58 anak. Tetapi yang aktif hanya 44 anak untuk belajar bersama. Dan hari itu hanya sebagian. Susah untuk membayangkan 44 anak reriungan dalam sanggar belajar yang luasnya tak lebih dari empat kali enam meter.

Tiga meja panjang jadi alas mereka menulis, menggambar atau mewarnai. Di atapnya di tutup dengan terpal biru yang disambung terpal coklat untuk teritisnya. Papan tulis putih melintang di ujung tembok. Sisi yang dekat dengan tembok rumah Ibu Yunita, sang empu rumah yang meminjamkan halaman belakang untuk kegiatan belajar - diletakkan lemari dari tripleks. Ada delapan kotak, tersusun atas bawah. Itu adalah lemari perpustakaan. Bukunya sedang didaftar Indri dan Mala, pendamping anak-anak tersebut.
***
I want to be your friend……
I want to be your friend……

A little bit more…

A little bit more……………………...


Usai kenalan, mereka menyanyikan beberapa lagu. Dan I want to be your friend adalah lagu pertama. Aku terkesima. Tak merdu memang, tapi jernih suara anak-anak itu sangat menyentuhku. Dan mereka hafal lagu bahasa asing tersebut. Lalu Twinkle twinkle little star jadi lagu kedua.
Ya aku tersentuh. Kata orang mataku seperti mata ketam, gampang sekali melelehkan air mata. Entah bahagia, terlebih sedih. Dan aku pun pura-pura tetap konsentrasi membidik segala polah mereka dari balik kameraku. Aku tidak mau air mataku tumpah karena lagu penyambutan itu. Begitu terbukanya hati mereka untuk bersahabat, sekalipun dengan orang asing yang baru dikenalnya seperti aku. Mungkin hanya kita manusia dewasa yang seringkali dipenuhi prasangka.

Rumahku Sederhana, Tidak Besar dan Juga Tidak Kecil


Aku selalu luluh melihat anak-anak. Siapa pun mereka. Termasuk anak-anak di Cakung Sawah ini. Cakung Children Community, begitulah kerennya mereka disebut. Komunitas Anak-anak Cakung. Belasan atau mungkin puluhan tahun lampau orang tua mereka sudah tinggal di sini.




Wilayah yang tidak jelas siapa tuannya. Kurang lebih dua hektar luasnya. Petak-petak tempat tinggal itu hanyalah gubuk semata. Gubuk dalam artian yang sebenarnya. Jemuran yang bersilangan. Popok dan baju tak terpakai diletakkan begitu saja di sudut rumah, bercampur lumpur dan air sisa hujan. Kumpulan sampah plastik di samping rumah, ditutup selembar terpal.




Tiga puluh kepala keluarga berkumpul di sini. Paling banyak dari Indramayu, Jawa Barat. Jangan tanya berapa ratus jiwa semuanya. Masing-masing keluarga dengan anak yang cukup banyak, paling sedikit dua, bahkan ada memiliki enam anak. Semuanya tinggal dalam gubuk-gubuk yang sangat kecil.


”Tidak bisa dihitung berapa ratus jiwa di sini. Anaknya banyak,” ujar Yunita, ibu yang menyediakan tempat untuk sanggar belajar.


Aku tidak bisa bayangkan, lima enam orang bertumpuk dalam gubuk ukuran empat kali enam.

”Yang tua ya tidur di lantai, yang di kasur hanya anak-anak,” ujar Erni, sambil menyusui Fajar anaknya yang baru berumur setahun.


***


”Yuk ke sawah. Lihat tanaman mereka,” ajak Rika.

Ajakan yang memaksaku melihat daerah ini tidak hanya dari petak-petak kumuh itu saja.

Kami berjalan ke belakang. Ada hamparan tanah yang baru saja di olah.




”Untuk ditanami kangkung,” ujar Nenek Harjati, neneknya Intan, salah satu pelajar di situ.
Berjalan ke belakang, aku melihat sebidang tanaman kangkung, terong yang mulai menguning. Pada bidang yang lain ada tanaman kacang tanah dan genjer.


Di tanah tanpa tuan yang jelas inilah mereka menjadi petani. Petani kota tepatnya. Cakung Sawah sebetulnya hanya satu dua jam dari pusat kota Jakarta, tergantung kemacetannya. Di belakang pabrik-pabrik industri besar. Tidak jelas dari mana air untuk sawah didapat. Tetapi tanaman itu selalu tumbuh. Kangkung bisa dipanen tiap hari. Begitu juga genjer. Panen terong sudah bukan masanya lagi ketika aku datang.




”Lumayan sehari bisa satu dua gabung kangkung. Paling banter laku Rp 10.000,” ujar Kakek Carya, lelaki tua yang aku temui di depan rumahnya. Satu gabung terdiri dari 25 ikat kangkung. Sayuran itu dijual ke pasar-pasar kecil yang ada di seputar pemukiman penduduk, di luar Cakung Sawah.



Tak semua menjadi petani. Lainnya memunguti botol dan barang bekas. Ada satu keluarga yang jadi pengepul barang bekas di tempat itu. Pekerjaan lainnya aku belum tahu banyak.

Langkah penasaranku membawa aku ke samping tanah pertanian itu.

Dua empang ukuran tiga meter kali satu setengah meter. Ditumbuhi kangkung dan tanaman lain menutupi gelapnya air yang ada. Jamban alakadarnya ditutup dengan triplek tipis ada di sudut lainnya. Puluhan lele hidup di dalam air gelap bersulur tanaman.



”Lelenya juga dijual?” tanyaku penasaran.



”Tidak diapa-apain. Biar makan kotoran saja,” ujar seorang warga.

”Ooooohhhhh.......” ujarku, sedikit lega. Tidak kepikiran bagaimana kalau lele-lele itu juga dijual. Untung saja tidak.


***


Sapu tanganku sudah kotor oleh keringat bercampuran bedakku. Tanganku pun sudah pegal memegang kamera. Rasa lieur yang muncul di awal ketika masuk ke pemukiman ini berganti dengan rasa lain. Aku tidak tahu bagaimana menerjemahkannya. Aku namai saja ”rasa yang lain.”



Kembali ke tempat belajar anak-anak. ”Rasa yang lain” tadi makin bergerak tak karuan dalam diriku. Melihat mereka memotong kardus bekas untuk dijadikan pigura foto. Menghiasinya dengan gabus jala merah pembungkus apel Washington yang dibawa Ikka tadi. Lainnya menempel pinggir pigura dengan beras, biji-bijian atau mewarnainya. Mereka serius. Kadang tertawa. Tapi tidak berebut.


Mataku menyapu majalah dinding, hasil karya mereka. Berbagai penggalan pengalaman ditulis dalam bahasa kanak-kanak. Dan aku terngiang dengan tulisan yang aku ditemukan:
”Rumahku sederhana, tidak besar dan juga tidak kecil. Di depan rumahku ada bunga-bunga. Rumahku bersih karena aku selalu membersihkannya, baik menyapu atau pun mengepelnya. Aku sungguh senang tinggal di rumahku. Ketika aku berada di dalamnya, aku merasa nyaman, aman, dan tenang.”


Ah kanak-kanak. Semua selalu indah dalam benak kamu, meski hidup dalam kekumuhan.

Aku jadi malu.


Hari ini aku belajar tentang kehidupan dari Cakung Sawah. Harta dan benda bisa jadi tak mereka punya. Tetapi mereka tidak sedang kehilangan keyakinan. Juga aku. Keyakinanku sedang justru bertumbuh. Keyakinan tentang masa depan mereka.

Dari Norway Ke Cakung Sawah

Foto: Didepan Tempat Belajar Anak-anak Cakung Sawah

Sulit sekali membuat mata ini terbuka. Enggan rasanya beranjak dari peraduan. Masih terbayang nikmatnya udara dingin Eropa bagian utara, membuat aku ingin berlama-lama tidur di balik selimut tebalku, meski sadar saat ini berada di Jakarta.

Ikka. Ya hanya Ikka yang membuat aku bersemangat hari itu. Telepon, SMS, email dan BBM nya sudah menyesaki memori otakku sejak liburan dua minggu lalu di Eropa. Menemani suami dan sekaligus liburan tepatnya.


Pembuangan sampah, kemiskinan, kotor, anak-anak ingusan, ibu-ibu yang mencari kutu di depan pintu rumah, adalah bayangan yang melintas ketika Ikka, teman yang kujumpai di facebook mengajakku untuk datang ke komunitas temannya. Anak-anak yang tumbuh di kawasan kumuh, bergelut dengan sampah dan kemiskinan di Cakung Sawah.


Foto: Puisi Untuk Guruku


Ah kemiskinan. Kontras sekali dengan liburanku. Hawa yang sejuk, cuaca yang bagus. Nyaris tanpa polusi. Eropa, selalu menawan di balik kameraku. Eh, foto-foto Norwegia, Amsterdam, sudah kamu lihat bukan? Facebook memang membantuku bisa berbagi kesenangan, aku di Eropa dan kamu bisa di mana saja.


***


Manyun wajah Ikka melihat aku keluar dari mobil kecilku. Menunggu hampir dua jam dari janji makan siang yang sudah terlewat. Tapi aku tahu, sekotak coklat akan melumerkan hatinya.


”Kita telat. Mereka pasti sudah kembali masuk kelas,” sungutnya.


”Maaf. Tidak bisa buka mata,” jelasku sambil mengeluarkan sekotak Coklat Cote d'Or. Coklat pahit Belgia yang aku beli di Belanda. Ah, betul saja. Zat serotinin sudah bekerja, saat dua gigit coklat lumer di mulutnya.


Lebih dari satu jam untuk menembus ruwetnya Cempaka Putih, Terminal Pulo Gadung, Kawasan Industri dan Cakung. Ini yang tidak pernah aku suka dari Jakarta. Macet yang kadang menghilangkan gairahku keluar rumah.


Dari jalan raya utama, masih perlu sepuluh menit untuk masuk ke pemukiman. Jalannya berliku dan sempit, paling hanya cukup mobil berpapasan. Aku pun menyetir dengan hati-hati, takut kesenggol angkot merah yang seenaknya berhenti.


Foto: Warga Cakung Sawah


”Masih jauhkah?,”tanyaku.


”Sabar aja, di kiri jalan ada tempat pencucian mobil, kita berhenti di situ. Nanti aku beri tanda,” pesan Ikka yang duduk di sampingku.


Aku manggut saja. Sudah dua tempat steam mobil kami lewati dan dia masih belum memberikan tanda. Baru pada tempat ketiga, dia menyuruhku berhenti di pinggir.


”Kita parkir di sini,” ujarnya.


”Lalu?” tanyaku.


”Masuk ke kampung yang aku cerita ke kamu itu. Lewat jalan setapak di samping itu,” katanya sambil menunjuk jalan – lebih tepat aku sebut lorong – untuk menuju ke tempat tinggal anak-anak yang didampinginya belajar.


***


”Bau, Ikka!” ujarku saat melihat kotoran kambing di jalur yang kami lalui.


”Husssssttt....sudahlah. Kan sudah niat ke sini,” ujarnya sambil sedikit mendelik.



Selokan kering di sisi yang lain jadi pemandangan tersendiri. Sekumpulan ibu-ibu mengupas bawang. Lelaki yang mencuci motor di depan rumahnya. Semuanya masih tampak wajar saja.


”Masih jauh lagi?” tanyaku.


”Tuh! Lihat ke depan,” ujarnya.


Foto: Aktivitas Warga Cakung Sawah


Ah, tanpa kusadari dari tadi aku jalan sambil menunduk, menghindari kotoran kambing lekat di sepatuku.


Mataku menyapu gubuk-gubuk kumuh di depanku. Satu, dua, tiga, empat, masih banyak lagi di belakang sana.


Ada yang berukuran empat kali enam, atau hanya tiga kali dua meter. Tingginya tak lebih dari dua atau tiga meter. Mataku mengintip di dalamnya lewat pintu yang terbuka. Gelap. Dan mungkin pengap di dalamnya. Tanpa jendela.


Dindingnya dari sisa-sisa tripleks yang dipadu dengan terpal. Sisi-sisi lain ada yang ditambal dengan seng. Lantainya ada yang bersemen lalu ditutup dengan karpet plastik tipis. Tapi ada pula yang langsung terpapar tanah. Pintunya paling mewah dari tripleks, tetapi ada pula yang hanya ditutup dengan kain seadanya.


Foto: Pemukiman Warga Cakung Sawah

”Ini rumah Ibu Yunita. Di belakang rumah ini, kita bangun tempat untuk belajar bersama. Ibu Yunita yang pinjami tempat ini,” ujar Ikka. Rumah ini terasa lebih nyaman dari rumah lain.


Lieur aku rasanya. Pusing melihat ke sekeliling.


”Di sini mereka tinggal? Ini masih wilayah Jakarta? Siapa yang punya tanah? Sejak kapan?” aku nerocos tanya ke Ikka.


"Satu-satu. Nanti aku jelasin. Ketemu dulu sama anak-anak yuk. Sudah ditunggu dari tadi,” ujarnya sambil menggeret tanganku.


”Selamat siang kakak-kakak,” suara perempuan muda menyapa kami.


”Sudah kami menunggu. Anak-anak baru saja belajar dan sekarang mau pembagian gizi,” ujarnya.


Sekumpulan anak-anak duduk membentuk lingkaran. Tak terlalu besar. Hampir dua puluh bocah. Ibu-ibu dengan kain sarung dan celana pendek melihat kami dari sudut yang lain.


Foto: Aktivitas Warga Cakung Sawah

Perempuan muda tadi bernama Rika, pendamping belajar anak-anak. Ada pendamping lain yaitu Uju, Uwi, Yuliani, Mala, Indri dan Kak Debby yang dituakan. Kak Debby lah yang merintis pendampingan untuk anak-anak ini enam tahun lalu.


Apa yang dikerjakan mereka?

Aku stop dulu di sini ya teman. Mata sudah berat, merengek minta istirahat...besok kuteruskan....

***

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes