Belajar Banyak dari Kesederhanaan Anak-anak



Tidak ada yang lebih indah selain berbagi dengan keiklasan. Hilang sudah kepanikan dan kepenatanku bersama Ikka, Mas Bayu, Risky dan teman-teman lain beberapa bulan terakhir ini, setelah kami berbuka bersama dan berbagi kebahagiaan kecil sore itu di Sanggar Belajar Cakung.

Rasa gelisah yang terus memenuhi kepala dan hatiku melihat kesehatan anak-anak di Cakung, sanitasi yang jauh dari memadai, kemiskinan yang sangat nyata, rasanya sedikit demi sedikit terbayarkan sudah. Janjiku untuk berbuat sesuatu bagi mereka paling tidak sudah coba aku penuhi. Tentu bukan hanya aku sendiri yang melakukan. Ikka, Mas Bayu, Risky, Alex, Harry dan teman-teman lain sangat membantuku.

Aku masih ingat benar bagaimana rasa gelisah melihat bisul Adit, rambut merah Lina Lini, badan Fajar dan Gio yang kecil dan sakit-sakitan, begitu menghantui aku dari waktu ke waktu. Masih jelas juga dalam benakku, kegigihan Kak Debby, kesederhanaan teman-teman pendamping di Sanggar Belajar Cakung mendampingi anak-anak kecil ini belajar hal-hal sederhana dalam hidup mereka.


Aku jadi tertawa sendiri mengingat kepanikanku dengan proposal-proposal yang ditolak itu. Masih terbayang juga wajah pucat Ikka karena semalaman berada di Museum Mandiri mempersiapkan pameran foto donasi untuk Cakung. Pucat karena suasana horor di museum malam itu. Lendotan Lini Lina di badan Rizky. Mas Bayu yang kerepotan membawa lusinan bingkai foto dari Ragunan dengan sepeda motornya. Ucapan terima kasih anak-anak saat Pak Anton dari Multivitaplex memberikan vitamin untuk mereka. Tatapan orang tua yang mendengarkan petunjuk Kak Rika tentang dosis pemberian vitamin yang tepat.

Semua frame itu melintas begitu saja dalam memoriku. Aku tahu, kami baru melakukan hal kecil dari kehidupan Cakung yang begitu kompleks. Apa yang aku lakukan belum akan mengubah kemiskinan yang ada. Tetapi satu hal, aku yakin sentuhan keikhlasan kami pasti menjadi bibit kebaikan yang tumbuh di hati mereka juga. Dan pada saatnya nanti, mereka pun akan ringan hati untuk berbagi dengan sesamanya yang lain. Satu prinsipku, makin kita berbagi, semakin kita tidak akan pernah kekurangan. Semakin kita berbagi, semakin kita akan dikayakan dengan berbagai hal baik.

Tiga bulan ini aku belajar banyak hal dari kesederhanaan hidup di Cakung. Rasanya aku membenarkan perkataan Mas Bayu, tidak ada yang lebih indah selain berbagi dengan keikhlasan. Sebotol vitamin dari Multivitaplekx rasanya seperti memberikan satu keyakinan baru bahwa kepedulian itu akan terus menular dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Bukankah kalau kita selamat dari satu bencana, menjadi kewajiban kita pula untuk menyelamatkan yang lainnya?

Yang aku senang, rasa gelisah itu terus hidup tumbuh dalam hatiku, Ikka, Bayu, Rizky dan lainnnya.

Terima kasih ya teman-teman sudah banyak membantu selama ini.

Vitamin Multivitaplex Untuk Anak-anak Cakung Sawah

Rasanya kegembiraan sore itu tak henti-hentinya untuk kami nikmati bersama. Es buah yang segar, nasi kotak yang enak, belum lagi kolak pisang yang manis, setumpuk hadiah, berbagai kejuaraan lomba, vitamin yang memang dibutuhkan anak-anak dan juga sedikit tali kasih untuk sekedar jajan mereka di hari raya nanti.

“Nah sekarang, Kak Ikka dan Kak Bayu akan informasikan siapa saja yang menang lomba pada waktu kita pelatihan foto kemarin,” ujar Ikka. Kemarin, Bayu, Ikka dan aku sudah sibuk untuk menentukan mana karya terbaik dari pelatihan yang hanya sepintas itu. Meskipun masih sangat sederhana karya mereka, tetapi kami semua menghargai ketekunan dan keberanian untuk berani mencoba.

Senang rasanya melihat Johanes, Susi, Indri, Ester, Kartini, Yana, Anah, Mohandri, Aris dan Zakaria membopong hadiah mereka, bingkisan buku dari teman-teman Mas Bayu. Kak Debby, Mas Bayu dan juga Ikka bergantian menyerahkan hadiahnya.

Lalu masih ada hadiah lagi untuk yang paling rajin hadir, paling rajin menabung, paling aktif dan sebagainya. Diantaranya ada Firman dan Lini. Geli melihat Lini keberatan dengan bingkisannya. Bungkusan hadiah itu nampak lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya.

“Ingat ya, yang mendapatkan bingkisan hanya mereka yang paling rajin datang ke sanggar. Kalau tidak rajin tidak dapat bingkisan. Makanya lain kali harus sering-sering datang ya,” Kak Rikka memperingatkan anak-anak dan orang tua yang hadir di sanggar sederhana itu. Semua anak pasti menginginkan dapat bingkisan berupa buku, tas, alat sekolah, vitamin dan lain sebagainya. Kemewahan yang luar biasa bagi mereka untuk mendapatkan barang-barang itu. Tetapi Kak Debby membuat peraturan yang tegas, mereka yang tidak pernah datang ke sanggar, tidak rajin belajar dan tidak aktif, tidak akan mendapatkan bingkisan. Aturan ini harus diterapkan, supaya anak-anak dan orang tua tidak hanya datang ke sanggar setiap ada acara saja. Tentu ada yang kecewa, tetapi ini kesepakatan yang harus diterapkan bersama.

***Kami pun mendaulat Pak Anton untuk maju memberikan vitamin yang disumbangkan perusahaannya. ”Vitamin ini untuk membuat badan jadi makin sehat. Mudah-mudahan nanti semua sehat seperti saya. Ini hanyalah bantuan kecil dari Multivitaplex, mudah-mudahan berguna untuk kita semua,” ujar Pak Anton.

“Terima kasih Pak Anton,” tiba-tiba serempak anak-anak menyampaikan apresiasinya terhadap bingkisan tersebut. Aku agak kaget mendengarnya tetapi sekaligus juga senang, Aku yakin, ungkapan terima kasih ini tidak hanya karena pemberian vitamin itu, tetapi lebih pada perhatian untuk kesehatan mereka. Dan lagi-lagi aku menyaksikan betapa pelajaran-pelajaran kecil dari Kak Debby dan pendamping yang lain sudah lekat dalam nafas keseharian mereka. Ini terbukti mereka tidak berebut untuk mendapatkan vitamin, bingkisan lain dan juga makanan. Satu pelajaran sederhana yang membuat suasana jadi terasa tertib.

”Ingat ya ibu-ibu, vitamin ini ada aturan minumnya. Untuk anak yang masih kecil dan yang sudah agak gede beda takarannya. Ibu-ibu perhatikan ya cara memberikan dosisnya,” ujar Kak Rika usai membagikan vitamin untuk semua anak-anak. Pemberitahuan seperti ini rasanya perlu disampaikan ke mereka, terutama untuk orang tua agar memberikan dosis tepat bagi anak-anak nantinya.

Mereka Makan dengan Lahap

“Nama saya Maria Prihatin, belajar di Cakung, rumah di sana,” ujar Prihatin sambil menunjuk sisi kiri dari tempat kami bertemu sore itu, Sanggar Belajar Cakung. “Nama saya Pedro, umur 8 tahun, tinggal di Gang Muslim,” lanjut Pedro.

Perkenalan ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga bulan lalu dengan mereka. Saat pertama kali diajak Ikka untuk membantu dia di tempat belajar yang diampu Kak Debby ini. Memperhatikan 47 anak memperkenalkan diri, sesekali aku masih suka tertawa melihat kepolosan mereka. Gaya mereka yang sederhana, kadang malu-malu, kadang jadi hilang suara, tetapi mereka cukup berani dan percaya diri untuk mengenalkan diri.

Ketika giliran Lini memperkenalkan diri, aku sempat melirik ke wajah Gita yang duduk di sampingku. Matanya berkaca-kaca. “Duh, aku terharu banget. Padahal mereka bicara begitu saja. Aku jadi membandingkan mereka dengan anakku. Jadi kangen rumah rasanya,” ujarnya. Tidak hanya sekali ia menyeka sudut matanya. Aku baru tahu, di balik badannya yang tinggi besar, ia memiliki hati yang sangat sensitif rupanya. Aku hanya senyum saja melihat kegelisahan Gita.

Siapapun pasti akan tergugah melihat anak-anak ini. Dalam kepapaan dan kesederhanaan hidup mereka, Kak Debby, Ikka dan banyak teman yang lain melihat mereka ini bagai butiran-butiran mutiara.Ketika giliran kami kembali memperkenalkan diri, mereka menyimak dengan takzim. Lagi-lagi Audi mendapatkan sapaan yang meriah dari anak-anak cewek yang mulai menginjak remaja. Satu lagi yang secara khusus mendapat perhatian yaitu Pak Anton dari Multivitaplex yang sore itu datang bersama keluarganya. Dengan tubuh yang paling besar di antara kami semua, pantas Pak Anton jadi pusat perhatian.

”Nama saya Anton, saya kerjanya membuat obat, antara lain membuat vitamin,” ujarnya sambil menjelaskan manfaat vitamin untuk tubuh.
”Weiihhhh agak-agak ngeri ya,” celetuk Dirmo. Kami tertawa mendengar celetukkannya yang spontan. Mungkin Dirno masih membayangkan vitamin itu dengan obat-obat pahit yang seringkali harus diminumnya di kala sakit.

Sore itu sangat istimewa untuk kami maupun anak-anak. Kami merencanakan untuk berbuka bersama dan berbagi kebahagiaan kecil yang beberapa waktu terakhir ini sudah kami usahakan benar-benar. Keterlibatan Pak Anton besar artinya untuk kegiatan sore itu.
Kelelahan setelah beberapa hari sebelumnya sibuk mengemas bingkisan untuk anak-anak, menyiapkan bantuan vitamin untuk mereka, mencarikan sejumlah buku pelajaran dan bacaan, terbayar sudah melihat senyum dan kebahagiaan di wajah anak-anak.

***
”Sore ini kami ingin menunjukkan kemampuan anak-anak untuk menyanyi dan puisi yang diikuti anak-anak dari berbagai kategori belajar,” ujar Kak Anah dan Kak Yulina yang sore itu.

Kami tertawa melihat tingkah mereka bernyanyi. Kadang menata barisan sambil ribut sana sini atau ledek-ledekan. Tetapi sebentar kemudian, mereka sudah rapi dalam koreografi sederhana. Ester dan Kartini mengiringi nyanyian dengan seruling. Sesekali aku tersenyum melihat ekor mata Susi yang mencuri-curi pandang ke Audi saat difoto. Ah anak-anak.

Saat Kevin membawakan puisi Kekecewaan Petani dan Intan dengan puisi Ibuku, lagi-lagi mata Gita berkaca-kaca. Puisi-puisi itu memang sangat menyentuh. Selain Kevin dan Intan, masih ada Chintya, Pedro, Mayang dan Fani yang membawakan karya mereka petang itu.

Kau menanam padi susah payah
Walau harus terjemur di sawah

Tapi kau tidak takut kalah
Dengan tikus-tikus sawah
Walau hasil panen harus dijual murah
Tapi tekadmu tidak akan goyah.

Puisi ini memang sangat menyentuh. Pantas kalau Gita juga terharu. Aku membayangkan puisi itu Kevin ia dapatkan dari gambaran keseharian ayah ibunya yang menggarap lahan di belakang rumah dengan tanaman kangkung, kacang, bayam ataupun terong. Mereka bekerja keras, terpapar terik untuk hasil panen yang hanya cukup untuk makan satu dua hari saja.

***

Usai menunjukkan kebolehan, Kak Yulina dan Kak Anah mempersilakan kami semua untuk melihat hasil karya mereka selama ini: Ada jualan coklat dalam bentuk yang cantik-cantik, kartu lebaran dan majalah dinding yang ditempel di tembok rumah Ibu Ester. Mereka mempersilakan kami semua untuk keliling di seluruh pemukiman tersebut. Ada Ester yang tanggap menjelaskan tentang majalah dinding yang ia jaga sore itu, lalu Susi menjelaskan tentang kepiawaiannya membuat rajutan, Kak Uju menjaga jajanan coklat yang dibuat beberapa hari sebelumnya bersama anak-anak kategori 4 dan 5.

Tak terasa senja jadi cepat datang. Rasa lapar karena seharian menahan haus dan lapar tak terasa lagi. Tapi ketika azan berkumandang, kami kembali ke Sanggar. Diki memimpin doa untuk membatalkan puasa kami hari itu. Lalu kakak-kakak membagikan es buah yang sangat segar.

Intan, Lina dan Lini yang sedari tadi ngelendot di pangkuanku segera tandas menghabiskan minuman tersebut. Lini bahkan tambah 2,5 gelas. Intan terus menghabiskan buah dalam gelas plastiknya, setelah airnya habis ia minum. Senangnya melihat anak-anak semangat seperti ini.

Hebatnya lagi, Intan masih bisa makan nasi dus yang diberikan sore itu. Padahal, ia biasanya paling susah makan. Begitu juga anak-anak lain. Senang rasanya memperhatikan anak-anak yang makan dengan lahap dan bermain dengan gembira.

Rasanya, tidak ada lagi masalah yang perlu dikhawatirkan. Dunia anak-anak yang sangat sederhana. Andai dunia orang dewasa sesederhana itu ya.

Terima Kasih Tuhan, Bantuan Datang Dari Mana-mana

Jadwal fotografiku sudah agak senggang. Puasa memberi kesempatan untuk mengedit foto dan meluangkan banyak waktu di rumah. Dan itu berarti aku memiliki waktu memikirkan kembali proposal-proposal kegiatan untuk Komunitas Cakung. Setelah patah arang dengan beberapa penolakan dan proposal yang tanpa kabar, kini aku semangat lagi. “Ditolak adalah hal biasa, tapi bangkit lagi untuk memulai, itu lebih luar biasa,” ujar Ikka.

Ikka benar. Kalau teman-temanku di Cakung putus asa dengan kondisinya saat ini, bagaimana mereka akan menatap hidup ke depannya. Aku yakin, dalam kepala-kepala kecil itu, pasti tersimpan mimpi-mimpi besar.

Pembicaraan Mas Bayu dengan teman-temannya dari komunitas Wikimu menyepakati untuk memberikan bantuan bagi Komunitas Cakung. Aku tinggal tindaklanjuti saja rencana ini. Proposal sederhana pun aku ajukan untuk mereka. Teman-teman Bayu tertarik memberikan bantuan dana untuk kegiatan. ”Meski jumlahnya tidak banyak, tetapi mudah-mudahan berguna,” ujar Bayu. Aku tidak mempermasalahkan besar kecilnya bantuan. Aku sudah sangat bahagia, kalau banyak teman tergugah untuk saling berbagi.

Gita juga akan membantu menyebarkan proposal pada komunitas-komunitas lain. ”Siapa tahu, bisa berbagi kebahagiaan untuk mereka saat lebaran nanti,” ujarnya. Dua tiga proposal akan dia bawa.

”Bismillah. Mudah-mudahan kali ini berhasil,” doaku, saat akan mengirimkan satu proposal ke perusahaan besar. Jeri dengan penolakan kemarin, membuat aku pasrah saja apapun nanti hasilnya. Meski aku berharap banyak pada salah satu produsen multivitamin untuk anak-anak ini, tetapi ada setitik keraguan untuk ditolak lagi. Padahal, kalau mereka mau membantu, pasti besar sekali manfaatnya untuk Adit, Intan, Lina Lini dan Gio. Mudah-mudahan perkembangan mereka lebih tertolong dengan bantuan vitamin-vitamin yang ada.

Bayangan Gio dan Fajar dengan tubuh kecilnya, rambut merah Lina Lini dan bisul di dahi adit terus membayang. Aku gemas dengan diriku sendiri kalau sekarang ini gagal lagi. ”Kamu sudah lakukan yang terbaik, sisanya serahkan saja ke Maha Pengatur,” ujar Ikka di ujung telepon menenangkan aku.

Semau proposal itu harus bergegas kami kirimkan, Lebaran sudah cukup dekat. Kalau Tuhan mengizinkan, aku ingin menjadikan lebaran kali ini begitu bermakna untuk teman-teman di Komunitas Cakung. Tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk kakak-kakak pendamping yang sangat setia.

***

”Mbak Wheny, boleh tidak aku minta sedikit buku bacaan untuk anak-anak kecil di Cakung? Cerita tentang mereka Mbak Wheny bisa baca di blogku,” ujarku siang itu dengan Wheny, teman di Sinar Kasih. Wheny dan teman-temannya mempunyai mimpi besar untuk membangun perpustakaan-perpustakaan di daerah marjinal, kantong-kantong kemiskinan dan daerah terisolir.

”Pakai saja buku yang belum kita kirim untuk Pulau Tunda dulu say. Nanti bantuin pilah-pilah lagi ya,” ujarnya. Jawaban sederhana yang sangat menggembirakan aku. Kadang aku jadi malu sendiri, tidak banyak yang aku lakukan untuk membantu kegiatan Wheny, padahal aku sudah berjanji akan meluangkan waktu dan tenagaku memilah dan menyiapkan buku-buku untuk dikirimkan ke berbagai wilayah.

”Terima kasih ya San. Itu gunanya banyak teman ya. Mudah-mudahan makin banyak yang bisa kita siapkan untuk kunjungan nanti,” ujar Mas Bayu menyemangati. Dua bantuan paling tidak sudah dijanjikan. Aku masih menunggu dari Gita. Sepertinya sinyalnya positif.

Aku, Ikka, Risky, Bayu dan Audi pasti akan disibukkan pula untuk menilai karya-karya fotografi terbaik selama pelatihan berlangsung.
“Hadiahnya nanti buku. Ada temanku mau menyumbang buku karya dia tentang Alam Jakarta. Isinya mengenai flora dan fauna,“ ujar Bayu.
“Pokoknya hadiahnya asyi-asyik,“ ujar Ikka. Aku percaya mereka berdua pasti akan memilihkan hadiah yang tepat. Siapa tahu nanti fotografer handal lahir dari Komunitas Cakung ini, bukankah Tuhan Maha Pengatur?

Hari-hari ini terlewati dengan menggembirakan.

***

”Saaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!! Ada berita gembira buat kita! Kita berhasil,” ujar Ikka begitu bersemangat di ujung telpon.
Apanya yang berhasil? Apanya yang perlu diselamati? Apa lagi yang menggembirakan? Aku masih diam menunggu penjelasan Ikka.
”Tebak apa hayooooo? ujarnya, membuat rasa penasaran aku meningkat.
”Hemmm.....hemm.....,” aku belum sempat menjawab ketika dia menyambung dengan kalimat lain.
”Vitamin Multivitaplex menyetujui proposal kamu! Hebat kan! Kita berhasil mendapatkan bantuan untuk anak-anak di Cakung,” ujarnya sangat riang.
”Hah yang benar? Serius kamu Ka?” tanyaku tak percaya.
”Mereka baru saja telpon dan akan memberikan bantuan vitamin untuk beberapa waktu ke depan. Aduh aku bahagia banget,” ujar Ikka masih menggebu-gebu.
Tak terasa air mataku meleleh dengan berita bahagia ini. Terbayang wajah bahagia Fajar, Lina Lini, Gio dan Adit. Terima kasih Tuhan, Engkau memang selalu adil.

Tuhan, Kirimkan Mimpi Indah Buat Mereka

Tak sampai sepuluh menit kami menemani mereka di pematang sawah. Bukan karena tidak tahan dengan teriknya cuaca. Tapi melihat mereka sudah menikmati sesi praktik fotografi ini, kami membebaskan mereka berekspresi.

Kak Uju menunjukkan hasil karya anak-anak. Kartu ucapan lebaran yang mereka buat sendiri. Kartu-kartu sederhana dengan ornamen kertas warna-warni. Berhias ketupat dan bunga. Ah aku jadi ingat waktu kecil dulu, aku juga suka membuat kartu ucapan lebaran atau hari raya lain berhias bunga dan daun-daun kering ditambah dengan pita. Dulu aku suka menjual di sekolahku.

Lalu ada pula rajutan tempat handphone dan rajutan bando yang lucu sekali. Gemas melihat rajutan bando itu. Aku tidak tahu pantas tidak aku pakai bando itu. Dari pada penasaran kucoba satu. Risky memotretku.

“Pantes kok. Mirip sedikit zaman Maria Mercedes,” goda Ikka. Kami semua tertawa, ingat telenovela yang dulu digemari sejuta ibu-ibu itu.

“Gak boleh kurang ya harganya? Beli kartu sama bando, diskon dikit ya?” rayuku pada Kak Uju.

”Ini kan buatan tangan Kak, jadi mahal,” ujarnya. Sebetulnya aku hanya menggoda. Di zaman kini, di saat operator memberi gratisan seribu SMS, di saat Blackberry memudahkan komunikasi, rasanya jadi naif berkirim ucapan lebaran dalam selembar kertas, yang entah kapan sampainya.

Zaman yang bergerak cepat, meminggirkan Pak Pos dengan sendirinya. Pada saat yang sama mungkin masih ada pula yang merasa lebih dihormati menerima kiriman kartu dibandingkan sederet SMS yang copy paste saja.

Tapi aku sudah tahu kepada siapa kartu tersebut akan aku kirim. Aku juga tahu untuk siapa bando rajut tersebut akan aku berikan. Sudah terbayang teriakan bahagia keponakan mungilku di Bandung pasti akan senang dengan bingkisan kecil itu. Juga sahabatku yang sudah lama tidak aku kunjungi, pasti akan bahagia menerika kartu lebaran itu.

Karya-karya sederhana ini ternyata tidak hanya menghasilkan uang dan menambah ketrampilan mereka saja, tetapi juga menularkan kebahagiaan untuk aku dan orang-orang lain.

***

Aku jadi ingat tulisan temanku: ”Saya tertidur dan saya bermimpi sangat indah. Saya bermimpi jadi malaikat.......Tatkala saya bangun, saya terpekur: saya begitu miskin. Saya tidak mampu membayar untuk mendapat hiburan, maka Tuhan mengirimi saya mimpi-mimpi ini bagi jiwa saya yang gelisah. Karena Tuhan melindungiku, aku menyampaikan terima kasih.”

Mudah-mudahan Tuhan mengirimkan banyak mimpi indah untuk mereka, teman-teman kecilku di Cakung. Mereka banyak menghiburku dalam keterbatasan kondisinya. Mimpi indah tentu akan menjadi pelita dan kekuatan mereka. Dan aku juga yakin, hal besar pun dimulai dari mimpi yang seakan mustahil. Mudah-mudahan lebaran kali ini penuh berkah untuk mereka.

‘Gaya Titanic’ di Hamparan Kangkung

“Dear all, kita akan ke Cakung lagi tanggal 21 Agustus dan tanggal 4 September nanti. Kumpul di tempat biasa. Datang ya. Sasan pasti bisa kan?” begitu pesan yang ditinggalkan Ikka dalam inbox di FB ku dan beberapa teman.

Antara bersorak dan bingung mau tanggapi pemberitahuan itu. Sabtu ini tidak masalah buat aku, tetapi di awal September itu aku sudah janji dengan beberapa teman di Bandung untuk
ngabuburit barengan. Mumpung minggu terakhir di saat kami bisa meluangkan waktu bersama, sebelum masing-masing mudik lebaran.

Kunjungan ke Cakung kali ini menggenapi janji Ikka yang sempat tertunda beberapa minggu. Selama itu, ibu-ibu dan remaja di Cakung sibuk menyiapkan kegiatan ekonomi menjelang puasa dan lebaran nanti. Kegiatan ekonomi tentu lebih mendominasi. Kak Uju mengajari anak-anak membuat permen coklat untuk dijual. Kakak-kakak yang lain mengajari membuat kartu ucapan untuk lebaran.

Hampir tiga minggu kami absen mengunjungi komunitas Cakung. Rasanya waktu berhenti cukup lama. Meski kegiatan fotografiku tetap berjalan. Beberapa proyek juga harus aku selesaikan. Tetapi kesempatan ke Cakung lah yang justru aku tunggu-tunggu.

***
Aku, Ikka, Mas Bayu dan Rizky berdempetan di mobil mungilku. Kali ini tanpa Audi yang seringkali menemani kami untuk membuat dokumentasi kegiatan di Komunitas Cakung.”Mobil balap Sasan” begitu Rizky menjuluki mobilku” Wahhhhhhhhhh....jadi tidak balance nih Ky, keberatan kamu,” ledek Ikka. Rizky masuk kategori kelas berat di antara kami, meski dia mengaku bobotnya sudah turun lima kilogram.

Menembus jalan ke arah Pulo Gadung, berdempetan dengan
kendaraan-kendaraan besar, mobilku rasanya makin mengecil saja di antara tronton dan truk-truk besar. Mataku sempat menyapu penggusuran di depan Terminal Pulo Gadung. Sisa-sisa tripleks, kayu dan kasur teronggok begitu saja. Pemandangan yang sangat khas menjelang lebaran. Biasanya masih ditingkah pula dengan kebakaran di tempat tinggal kumuh, entah disengaja atau tidak.

”Kita ke rumah Kak Uju ya. Anak-anak nunggu di sana. Aku bawa beberapa kamera untuk latihan. Kita ngobrol
dan praktik tentang komposisi,” jelas Mas Bayu di mobil. Tadi sebelum berangkat kami sempat memperbincangkan tema kali ini. Anak-anak kelas empat ke atas belajar fotografi untuk ketiga kalinya. Ini adalah sesi fotografi yang terakhir.
”Jalan Gelatik, lalu ke Jalan Dahlia, ada kandang bebek di depan rumah warna hijau. Parkir di pinggir jalan besar saja, bisa bawa mobil ke dekat rumah, tetapi jalannya jadi jauh,” begitu pesan Kak Uju waktu ditelpon Mas Bayu.

Kami pun menyusur gang yang dimaksud. Ketemu serombongan masyarakat yang sedang memanen kangkung. ”Foto kami dong. Bentar biar bergaya dulu!” teriak seorang bapak dari tengah ladang kangkung. Kami tertawa. Tak urung Ikka memotretnya juga dengan kamera kecilnya. Mereka tertawa senang. Ah kebahagiaan yang sederhana.

Rumah warna hijau dan kandang bebek tidak terlalu sulit kami temukan. Sejenak beradaptasi dengan aroma kotoran bebek yang khas. Menunggu Kak Uju yang sedang dalam perjalanan dari sanggar bersama empat anak yang akan belajar memotret.

”Itu mereka!” ujar Ikka melihat Kak Uju datang bersama si keriting Susi, Kartini yang kalem, Ester yang berlesung pipit dan Yana. Senang melihat mereka bersemangat, meski puasa dan kepanasan di perjalanan.
”Kak Audi mana? Tidak datang ya? Yahhhhhhhhhhhh……jadi tidak bersemangat deh,” ujar Susi. Ah…..ha…. baru aku tahu kalau Audi punya fans berat di Cakung.

“Kak Audi masih di Bandung, besok lagi ikut kok. Nanti salamnya disampaikan,” ujar Ikka dan Rizky. Sejenak wajah Susi yang bersungut sudah kembali ceria melihat kamera merah hati milik Ikka. Jadilah kelas fotografi di depan rumah Kak Uju. Duduk di atas bale-bale yang rindang oleh pohon Talok. Mas Bayu mengulang sedikit pelajaran lalu tentang cara motret, flash dan ISO. Pelajaran kali ini mengenai komposisi, sudut memotret, garis imajiner. Materi berkembang pula ke foto gaya dan candid camera.

***

Kamera merah terus dipegang Susi sejak Mas Bayu jelaskan beberapa teori tadi. Aku membantu menjelaskan tentang komposisi dan sudut pengambilan gambar. Satu kamera lagi dipegang Kartini.


Beberapa anak datang menyusul: Yohanes, Zakaria, Aris, Anah, Indriasari dan Mohandri. Pelajaran diulas balik untuk mereka yang baru datang, lalu mereka diberi tugas untuk memotret sesuai komposisi yang baru saja dijelaskan. Lokasinya tak jauh-jauh. Di samping rumah Kak Uju yang dipenuhi hamparan tanaman kangkung. Mereka praktik berkelompok. Kelopok satu: Johanes – Susi – Indri. Kelompok dua: Ester, Kartini, Yana dan Anah. Sisanya Mohandri, Aris dan Zakaria.

Susi dan Indri bergaya dengan salam dua jari. Yana masih bingung dengan gayanya. Aris dan Zakaria yang dipotret Mohandri bergaya metal. Aku sempat tertawa melihat gaya Indri dan Susi yang mirip adegan di film Titanic sewaktu Leonardo Dicaprio bersama kekasihnya membentangkan tangan di haluan kapal mewah tersebut. Cuma kali ini adegannya di pematang sawah.

Tak sampai sepuluh menit, dari tadinya yang bingung bagaimana bergaya, kini mereka sudah enjoy. Hasil foto ini akan kami lombakan. Hadiahnya nanti dibagi menjelang lebaran. ”Kita tampilkan saja foto-foto yang dulu mereka buat dalam proyektor, pasti mereka suka,” ujar Mas Bayu. Great idea. Jadi tidak sabar menunggu awal September.

Ketulusan di Museum Bank Mandiri

Sabtu, 24 Juli 2010. Menegangkan pagi itu buat aku. Rizky memang sudah menyebarkan undangan ke berbagai milis. Tak sedikit yang confirm datang. Ikka sudah sejak pagi tadi di Museum Bank Mandiri. Ia ingin memastikan pekerjaannya dengan Rizky dan beberapa teman lain memuaskan. Rizky masih sembab matanya tapi berhasil bangun pagi juga.

Hubungan baik Ikka dengan teman-teman di Museum Bank Mandiri membawa banyak keuntungan. Kami bisa meminjam panel hitam lengkap dengan lampu sorotnya. Masih pula diberi kertas putih agar foto-foto tak berbingkai tampil lebih variatif. Ikka menghias dengan puisi yang dibuat sahabat-sahabat kecilku di Cakung. Tak lupa mereka juga menyiapkan 25 foto karya anak-anak Cakung ketika kami membuat workshop fotografi untuk mereka. Keanggunan Museum Bank Mandiri disempurnakan dengan karpet merah yang diletakkan di bawah panel bersorot tersebut. Sederhana tapi cantik menurutku.

Keesokan harinya, sejak jam tujuh pagi mereka berdua sudah stand by lagi di tempat pameran. Ikka membenahi tampilan bingkai-bingkai foto tersebut. Risky memastikan buku tamu sudah di tempatnya. Aku baru saja meluncur dari pemotretan Bandung. Jam sembilan lebih aku baru sampai di Museum Mandiri. Kagum aku dengan hasil kerja Ikka, Rizky dan Alex.

***

Tidak ada kata sambutan dan gunting pita. Menyelesaikan semua panel foto ini saja sudah membuat Ikka dan Rizky nyaris ambruk. ”Ikka, pray for the best ya,” ujarku dengan Ikka ketika dia duduk di kursi panjang museum melepaskan segala penatnya. ”Kita sudah lakukan yang terbaik San, serahkan saja sisanya ke yang Maha Pengatur,” balasnya kalem. Benar juga ya. Yang penting niatan kami baik untuk menyelenggarakan pameran ini.

Tamu pertama pun muncul. Rombongan keluarga dari Cimanggis. Sebetulnya mereka bukan bertujuan melihat pameran ini, tetapi mengunjungi museum. Poster menarik yang dibuat Ikkalah yang membuat langkahnya memperhatikan foto-foto tersebut.

“Benar ini anak-anak Cakung? Apa yang mereka perlukan?” tanya sang ayah. Ikka menjawab berbagai tanya dari keluarga ini. Aku menyambut tamu lain. Sepasang muda-mudi. Mereka mengenaliku di situs jejaring. ”Wah keren mbak fotonya,” puji mereka. Dua tiga tamu lagi kami temani dan jelaskan tentang kondisi teman-teman kecil kami di Cakung. Oh iya, Sabtu itu ada Githa. Ia banyak membantu mengurus pernak pernik yang terlewat, termasuk menyediakan tempat kartu nama dan kotak untuk donasi.

Seorang Ibu datang. Ia tahu kegiatan ini dari Facebook. Di tangannya ada setumpuk buku Donald, majalah dan buku-buku puisi. “Saya tidak tahu apa yang mereka perlukan, tetapi mudah-mudahan buku-buku ini bisa banyak membantu,” ujarnya tulus. Githa menerima bingkisan tersebut. Menemaninya berkeliling. Ah aku terharu dengan sikap sederhananya. Selain buku, dari tamu yang berkunjung, kotak donasi Githa pun sudah terisi.

Hudép lam dǒnya

Hudép lam dǒnya sigo thô reu-ôh
Miseue tapiôh yub kayèe raya
Han jan tathèe-thèe nyawong ka putôh
Ka tinggai tubôh han sakan guna

Hudép lam dǒnya beuna ibadat
Beukai akhirat sinöe tamita
Ubé na dèesya bandum tatèebat
Uroë akhiran asoë syeuruga

***

Hidup di dunia sekali berpeluh
Bagai berteduh di pohon rindang
Tanpa diduga nyawa menghilang
Tinggalah tubuh tak berguna

Hidup di dunia harus bertobat
Bekal di akhirat cari di sini
Setulus kita bisa bertaubat
Hari akhirat mengisi surga

Puisi sederhana yang terselip dalam buku-buku yang dibawa sang Ibu tadi menarik perhatianku. Benar ya, apa arti bila hidup tak punya makna. ”Saya punya banyak kartu seperti ini. Ada berapa jumlah anak di sana? Nanti saya bawakan lagi,” ujarnya ketika akan beranjak pulang. ”Ajak saya ke Cakung ya,” pintanya.

Tanpa terasa buku tamu sudah terisi lembar demi lembar. Ada yang dari Bekasi, Grogol, Cengkaeng, Depok, Rawamangun, Cibubur, Slipi, Tanjung Priuk, Cimanggis, Manggarai, Tebet, dan masih banyak lagi daerah-daerah di Jakarta yang datang mengunjungi pameran kami. Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya belum puas hanya bisa pameran satu hari. Tapi baru itu yang bisa kami lakukan. Haru rasanya waktu harus menurunkan kembali bingkai-bingkai itu dari panel.

***

“Ikka, dapat berapa?” tanyaku pelan, deg-degan aku menanyakan jumlah donasi yang kami dapat dari kegiatan sehari itu.
“Sepertinya belum banyak San,” balasnya.
”Tidak apa-apa. Ini usaha pertama kita. Simpan ya,” ujarku menyemangati. Benakku berputar cepat sekali. Apalagi ya yang bisa kami lakukan untuk sahabat-sahabat kecil kami.

Lensa Mata Hati

Benar adanya bahwa di dunia ini hanya ada dua pilihan yang bisa diambil. Baik buruk, panas dingin dan lain sebagainya. Tidak pilihan yang setengah-setengah. Setengah panas atau setengah dingin. Malah bikin anyang-anyangan nanti.

Begitu juga dengan diriku saat ini. Bukan pilihan berat. Hanya soal rasa saja. Hari-hari terakhir ini undangan untuk menjadi juri atau memotret even. Kamis kemarin memotret Miss celebrity di Ancol. Asyiknya bisa motret bareng mentorku di acara, Bang Darwis. Motret mereka berlenggong di tepi kolam renang, atau yang sibuk diajari jalan oleh Cathrin Wilson. Lalu motret bareng teman-teman di Indonesia photographer.

Menyenangkan sekaligus melelahkan. Menyenangkan karena ini benar-benar cara mengisi waktu yang efektif sambil menunggu Mas Iwan yang masih di Norwegia dalam tiga bulan ini. Melelahkan karena hampir setiap hari ada acara. Menyetir Cibubur – Jakarta – Cibubur, di tengah kemacetan yang susah terurai.

Tapi lelah bukan pilihanku. Bayangan Lina - Lini - Adit – Gio, begitu lekat di pelupuk mataku. Rambut merah mereka, bisul bernanah di jidat anak-anak Cakung. Tubuh mungil Fajar yang seringkali sakit. Kak Debby yang begitu gigih.

Ada rasa yang bergolak. Ingin rasanya melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi apa? Uang tidak akan membantu untuk jangka panjang. Tenaga? Ah, masih lebih tangguh Kak Debby dibandingkan aku. Dia memberikan hidupnya selama enam tahun lalu untuk komunitas ini. Aku baru 2-3 kali saja datang, bercengkerama lalu pulang. Bukan aku yang menghibur mereka, justru aku yang menjadi penghiburan dari senyum lugu anak-anak ini.

Puluhan foto anak-anak Cakung kembali membayang. Akan aku apakan foto-foto ini. Bagaimana foto ini bisa menghasilkan sesuatu untuk mereka. Pameran? Apa judulmya? Apa ada yang mau lihat. Duh......gemas aku jadinya.

***

“Kamu sudah memotret mereka dengan lensa mata hati kamu San,” ujar Rizky siang itu. Ketika aku curhat kegundahanku. “Sangat layak dipamerkan. Its so touching,” ujarnya menepis keraguan aku.

Tak berlebih aku memanggilnya Mr. Solusi. Kalau mentok ide, ngobrol dengan Rizky, otak jadi lancar lagi. Kami pun berjibaku mengedit dan mengklasifikasi agar mudah dipahami orang temanya.

“Aku yang cetak ya, pasti dapat murah,” ujar Ikka. Nah, giliran beli bingkai Mas Bayu yang kebagian jatah. Lebih murah membeli dalam jumlah banyak seperti ini, daripada memesan di tukang kayu. Tiga lusin bingkai hitam dibawa Mas Bayu dari Ragunan. “Lebih murah beli di sana,” ujarnya cekak. Aku dan Ikka hanya senyum saja, tidak kebayang bagaimana tiga lusin pigura bisa nangkring di motor Mas Bayu.

Aku sudah bertekad dengan teman-teman mau berbuat sesuatu untuk membantu anak-anak di Cakung. Ikka kebagian melobi Museum Bank Mandiri. Rizky menyiapkan konsep pameran dan membagi pengumuman. Sementara acaraku di Bandung tidak bisa aku tinggal, aku harus pergi. Jadilah Ikka dan Rizky yang harus berjibaku menyiapkan semuanya. Alex menawarkan diri membantu.

Saking semangatnya menata di museum, Ikka sampai lupa dengan rasa takutnya.
“Emang berani kamu sampai tengah malam di sana? Apa tidak takut?” tanyaku penasaran saat pembukaan pameran tersebut. “Saking capeknya, sampai rasa takutpun enggan singgah San,” ujarnya masih dengan mata yang kuyu.

Sekarang aku yang takut., jangan-jangan donasi dari pameran foto ini tidak menghasilkan banyak dana. Kalau itu yang terjadi bagaimana ya..........................

Lilin-lilin Kecil untuk Cakung Sawah

“Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuki kegelapan.” Kalimat ini sangat ajaib, selalu mampu membuatku berpikir positif.

Membaca deretan kata-kata yang aku pasang di depan memo pad meja kerjaku ini, memaksaku membuang jauh-jauh kutukan dan serapah kenapa masih ada orang yang kurang beruntung, kenapa anak-anak harus jadi korban, kenapa dan kenapa.

Aku berpikir, bagaimana foto-foto anak-anak Cakung ini bisa aku publikasikan lebih luas. Koleksiku sendiri sudah puluhan jumlahnya. Ditambah karya Alex dan Hari tentu cukup untuk membuat pameran kecil entah di café atau di mana. Belum lagi kalau aku mengundang lebih banyak teman untuk mau terlibat. Pameran foto adalah salah satu cara untuk berbagi ide dan menarik kepedulian. Aku yakin, gambar lebih mampu berbicara dibandingkan kata-kata.

Aku juga bisa melakukan lelang foto. Hasilnya nanti bisa digunakan untuk membantu anak-anak di Komunitas Cakung. Entah untuk bantuan kesehatan atau pendidikan. Passion inilah yang membuatku bersemangat.

Teman-teman di majalah dan organisasi-organisasi sosial yang aku ikuti sejak kuliah dulu tentu akan sangat membantu.

Ide-ide ini aku ceritakan ke teman-teman. Mereka setuju. Langkah awal, membuat beberapa proposal untuk aku tawarkan ke relasiku. Aku benar-benar berdoa, mereka akan membantu proyekku ini.

”Ah kenapa tidak membuat kegiatan di Kota Tua? Pameran foto dan mungkin bisa sekalian mendongeng untuk anak-anak. Juga bisa ditambah beberapa kegiatan lain. Menarik tidak?” ide ini tiba-tiba meledak di otakku. Aku pun makin giat membuat proposal.

***

Sepanjang hari ini aku sibuk dengan proyek kemanusiaanku. Jejaring di Facebook sedikit banyak membantu aku. Banyak yang memberi jempol ketika aku menuliskan status kegiatanku ini. Wah....jadi tambah semangat. Satu dua hari ini aku harus selesaikan semua proposal dan mengirimkan ke Mbak Tania di majalah remaja, Pak Danu mantan direkturku dulu, Mas Apri juragan mainan anak-anak itu, Pak Dede yang akan yakin banget akan membantu serta Ibu Surya, HRD perusahaan makanan anak-anak. Pada kelima orang ini aku benar-benar berharap mereka akan memberikan apresiasi untuk kegiatanku. Enam proposal lainnya aku kirim ke perusahaan-perusahaan lain sebagai cadangan.

Seminggu dua minggu sambil menunggu jawaban proposal-proposal itu, aku merapikan foto-foto hasil karyaku dan sumbangan beberapa teman. Akhir minggu kedua belum juga ada jawaban. Kesibukanku menjadi juri foto di berbagai event dan memotret berbagai acara membuat aku tidak intens komunikasi untuk mengecek proposalku.

***

”San, maaf ya. Bulan ini banyak sekali yang minta sponsorship. Proposalmu masuk dah tanggung bulan,” jawab Mbak Tania di seberang telepon. Jawaban pendek yang membuat aku lemas. Ini penolakan pertama. Kenapa sih tega tidak memberikan bantuan untuk kegiatan kemanusiaan? Uang makan siang Mbak Tania saja bisa untuk hidup dua keluarga di Cakung selama dua minggu. Ihhhhhhhhhhhh....geram aku rasanya.

”Ya sudah

Terjerat Bayang-bayang Penggusuran

Berbincang dengan Kak Debby, seolah menjadi penguatan bagiku. Ketika hidup riuh dengan dunia yang gemerlap, tuntutan materi dan penilaian sosial. Ketika orang selalu mendongak ke atas dan enggan melihat ke bawah. Ketika pengotakan makin nyata, antara yang punya dan papa. Ketika pribadi-pribadi hanya dinilai dari deretan Nomor Induk Karyawan atau pengodean yang lainnya.

”Anak-anak yang belajar di sini makin banyak, sementara tempat sangat terbatas. Tapi kami tidak mungkin menolak,” ujar Kak Debby.

Kini memang tak ada lagi penolakan dari lingkungan seperti tahun-tahun awal. Ketika belajar harus selalu berpindah-pindah dari bedengan satu ke yang lainnya. Ketika orang tua enggan membawa anaknya ke sanggar untuk belajar. Ketika pengurus wilayah mengharuskan ada setoran untuk kas rutin.

”Gampang-gampang susah untuk merangkul warga. Ketika sudah dekat dengan mereka pun, tidak begitu saja bisa melakukan kegiatan bersama,” ujar Kak Debby.
Ia pun menceritakan kisah menarik.
Pernah suatu ketika ia mengajak beberapa teman dokter untuk memberikan penyuluhan tentang Keluarga Berencana secara alami. Banyaknya anak dari keluarga-keluarga di sini menjadi keprihatinannya tersendiri. Banyak anak membuat perhatian orang tua tidak maksimal, terlebih ketika harus bergulat untuk sesuap nasi setiap harinya.

Gio misalnya, sejak usia empat bulan sudah ditinggal orang tuanya buruh mencuci. Lina Lini yang usianya belum belum genap 6 tahun harus menjaganya. Begitu juga dengan Fajar, ia seringkali merengek bila ditinggal pergi ibunya. Dan ini tak hanya satu dua anak yang mengalaminya.

”Inginnya memberikan penyuluhan tentang keluarga berencana alami. Tapi begitu tim dokter masuk, mereka ternyata lebih konsern dengan masalah sanitasi dan kesehatan,” ujar Kak Debby. Ia tak memungkiri komunitas di Cakung ini jauh dari standar sanitasi yang jamak diterapkan masyarakat.Kak Debby sadar betul, dalam kondisi sosial yang tidak menguntungkan ini, banyak anak makin menegaskan arti tidak akan banyak mendapat rezeki. Banyak anak justru meratakan kemiskinan itu sendiri.

”Banyak yang ingin kami lakukan bersama-sama,” tambahnya. Pernah ia mempunyai keinginan adanya sumber air bersih di wilayah ini. Tetapi bagaimana dengan mekanisme pembayaran dan perawatannya. ”Status administratif sangat menyulitkan mereka,” tambahnya. Hidup di wilayah yang tak jelas tuannya, membuat langkah tak leluasa bergerak.

”Belum lagi saya terus kepikiran, kalau penggusuran akan dilakukan dua tahun lagi. Entah dimana mereka akan tinggal dan belajar. Itu justru yang menjadi keprihatinan mendalam saya,” ujarnya.
***

Dan otakku pun berputar makin kencang. Adrenalinku bergejolak: aku harus melakukan sesuatu! Sekecil apapun itu!

FAJAR, ADIKKU

Nama saya Intan. Umur saya 7 tahun. Saya duduk di kelas II SD.
Saya mempunyai adik bernama Fajarwati. Ia adik perempuan saya. Ia anak kedua.

Ia lucu, suka bercanda.
Ia suka makan jagung walau masih panas karena dia tidak takut panas.
Ia suka mangga, bila diambil ia menangis.
Kalau sakit, ia tidak mau makan.
Ia masih sering ngompol. Ia masih menyusu.

Ia suka menangis bila ditinggal Mama kerja mencuci di rumah orang.
Kalau sudah ngambek, bila digendong dia pasti menangis.
Ia suka berantem dengan Gio. Ia juga suka berantem dengan saya.
Ia cerewet sekali. Kalau ditemani, ia tidak mau tidur.
Saya sayang Fajarwati.

November 2009.

Aku temukan puisi yang ditulis Intan, gadis cilik dari Komunitas Anak Cakung. Puisi yang ditulis akhir tahun lalu. Dokumentasi yang disimpan Kak Debby membantuku mengenal komunitas ini lebih dekat lagi. Kebetulan siang itu – saat diadakan berbagai lomba dan pembagian raport di Cakung, aku berhasil duduk dekat-dekat dengan Intan.

Ia baru saja menyelesaikan pembuatan pigura. Tangannya baru saja usai menyusun biji-biji merah saga untuk penghias framenya. Dia masukkan gambar artis di dalam pigura tersebut. Semyum menghias bibirnya. Pigura itu ia kumpulkan di sudut tempat belajar, berjejer dengan beberapa frame lainnya.

“Nanti akhir bulan aku mau pentas,” ujarnya tanpa aku tanya. Ia sudah lebih nyaman berbincang dengan aku, setelah beberapa kali aku mengunjungi rumahnya. “Nari Jali-jali,” tambahnya. Hampir seminggu penuh belakangan ini ia sibuk berlatih. Pentas tersebut akan diadakan di halamam sekolahnya, menyambut liburan panjang kenaikan kelas.

Oh ya, selain di sekolah, Komunitas Anak Cakung juga membagikan raport hasil belajar. “Tidak hanya prestasi akedemik. Lebih penting menekankan pada pembelajaran kepribadian anak, kehadiran dan tanggung jawab,” ujar Kak Debby. Sempat tadi aku lirik nilai Intan yang dikerjakan Kak Rikka. Dia dapat total nilai 74. Sementara hasil di sekolah negerinya ia mendapat nilai 9,2 untuk Bahasa Indonesia, 8 untuk matematika, IPS dengan nilai 8, tujuh untuk PLBJ dan PLKJ, nilai 8 lagi untuk PKN, IPA dan Agama. Nilai Bahasa Inggris ia lupa sebutkan. ”Yang susah ngapalin Bahasa Arab dan nulis Arab, ujarnya.

”Kalau aku tidak bisa perkalian,” ujar Dirno menimpali. ”Tapi nulis Arab juga susah,” tambahnya.

***
”Ayo sudah kumpulkan semuanya. Rapikan meja. Anak yang kecil dulu yang cuci tangan,” ujar Kak Uju. Anak-anak pun merangsek ke ember pink di ujung sanggar belajar itu. Tak berebut. Beberapa menanyakan lap untuk mengeringkan tangan yang lupa disiapkan pendamping.

Orang-orang tua sibuk menyodorkan piring dan sendok untuk anaknya. Lainnya sudah menumpuk piring dan sendok di bale-bale untuk meletakkan dua panci besar bubur Manado. Sambal teri menggoda dengan warna merahnya.

Masing-masing dibagikan 1,5 – 2 centong dengan satu sendok sambal teri. ”Benar nih doyan pedas,” tanya Kak Mala pada Lina dan Lini, si kembar berambut merah.

Suasana makan yang menyenangkan. Ramai tapi tidak berebut. Beberapa minta tambah. Seorang anak akan membuang makanan yang tak dihabiskannya. Masih ada beberapa potong ubi kuning dan sayuran campuran bubur Manado. ”Tadi sudah dibilang ambil secukupnya. Tidak boleh ada yang buang makanan. Kalau tidak habis besok lagi tidak akan dibagi,” ujar Kak Debby yang juga dipanggil Oma di Komunitas Anak Cakung.

”Ini makan pertamaku,” ujar Intan. Ia memang hanya makan satu kali sehari. Mamanya tadi sempat keluhkan kebiasaan makan putri ciliknya ini. Badan Intan tinggi langsing. Kalau sudah makan pagi, siang ia jajan di sekolah dan malam ngemil jajanan lagi. Kalau pagi tidak makan, siang ia jajan di sekolah dan sorenya baru makan.

”Susah benar makannya dari kecil. Tapi untunglah sehat sekarang, waktu kecil juga sakit-sakitan seperti Fajar,” ujar Mama Erni, mamanya Intan. Sementara Fajarwati adiknya, lebih suka makan ubi dibandingkan nasi. ”Anaknya bosenan,” tambah Erni.

Usai makan adalah saat yang ditunggu-tunggu: pembagian raport dan hadiah. Kakak-kakak pendamping sudah siapkan banyak hadiah yang dibungkus kertas koran. ”Setiap anak yang rajin akan dapat hadiah, begitu juga yang rajin nabung,” ujar Kak Rika. Firman, lelaki kecil berusia lima tahun disebut namanya karena paling rajin nabung. Tidak peduli berapa pun jumlahnya, tetapi ia tiap hari selalu nabung.

Lina Lini dapat dua bungkus kado untuk kehadirannya yang dianggap paling rajin. Dua hadiah istimewa diberikan untuk Mayang dan Ari untuk tanaman sawi mereka yang tumbuh subur. Biji sawi tersebut disemai dalam botol bekas infus yang dilubangi. ” Ini dalam rangka Hari Bumi anak-anak diajari menanam dan memelihara tanamannya,” ujar Kak Uwi.


Sebagian besar anak mendapatkan hadiah untuk berbagai kategori. Beberapa diantaranya justru mendapatkan dua tiga hadiah sekaligus. ”Yang pasti setiap anak mendapatkan pensil atau barang-barang kecil lainnya yang sama. Kami mengajarkan agar mereka peduli dengan barang milik sendiri dan tidak mengambil barang milik temannya,” ujar Kak Debby. Ia prihatin, anak-anak seringkali mengambil barang-barang kecil seperti pensil dan penghapus milik temannya. ”Kepedulian ini harus ditanamkan. Mengajarkan mereka menghargai milik sendiri dan orang lain,” pungkas Kak Debby.

Pembagian Raport...

Aku merasa lebih nyaman menyambut hari Minggu ini. Sudah ada kegiatan yang pasti: mengunjungi anak-anak di sanggar belajar Komunitas Cakung. Seperti dua minggu lalu, aku jemput Ikka di Cempaka Putih. Kali ini aku tepat waktu.Laju dari Cempaka Putih menuju Cakung pun terasa lebih lancar, meski di beberapa titik aku jumpai kendaraan yang tersendat.

Masuk ke Jalan Kayu Tinggi, aku sudah melihat angkot merah yang akan lewat di Komunitas Cakung. Merah yang genit menurutku. Jalanan masih basah dibilas sisa gerimis yang baru beberapa saat berhenti. Anomali cuaca sepertinya. Wiper mobil masih meliuk ke kanan dan ke kiri. Aku tidak lagi menghitung steam mobil, rasanya aku sudah hafal di mana mesti berhenti nanti. Toko roti, kios pulsa, tempat belajar PAUD, laundry, toko kelontong, tempat jualan jus buah, toko material, salon, tempat embroderi. Mataku seakan memindai deretan kios dan warung yang aku lewati. Aku sempat melirik sekolah Intan.

Mendadak motor yang dikendarai dua remaja oleng di depanku. Reflek mobil segera aku hentikan. Mungkin anak laki-laki di boncengan tidak bisa seimbangkan bawaan mereka, bawang putih kupas. Untung saja bawang putih kupas yang di dalam kantong beras tak ikut tumpah. Mereka hanya nyengir saja. Bawang kupas yang mungkin dikerjakan ibu mereka seharian.

”Aku rela jadi hujan, kalau kemarau hatimu.......” lengkingan lagu dangdut dari radio yang disetel siang itu seakan menyambutku di lorong masuk ke Komunitas Cakung. Kali ini adalah kunjungan kedua bagiku.

Aku hanya senyum saja mendengar lagu itu. Agak geli saja rasanya.

***
Hari ini aku bertemu muka dengan Kak Debby. Aku pikir orangnya tinggi besar dan tegas. Ternyata Kak Debby kecil saja perawakannya. Tutur katanya sangat halus. Tapi soal ketegasan tak bisa kusangsikan.

Kami bersalaman di rumah orang tua Zidan yang siang itu dipakai untuk lomba memasak.Emper rumah dihiasai dengan bale-bale sederhana. Di sebelahnya disiapkan kompor gas yang sudah memangku satu wajan besar dan satu panci berisi air, beras dan ubi. Dibumbuinya bahan-bahan tadi dengan jahe, serai dan daun pandan. Siang itu mereka ujian praktik masak bubur Manado.

“Wah serai ini ngajak berantem rupanya,” spontan Ondo, adik Esther mengucapkan kalimat itu. Semua tertawa melihat adukan Ondo yang terbelit daun serai. Dia pun beralih ke aktifitas lain.

Ia memasukkan terasi ke nyala kompor. Sayang terasi tak ditusuk besi, jadinya masuk ke sisi dalam nyala kompor. Besi yang ia pegang tidak bisa menjangkaunya. Kami semua tertawa, terlebih bau terasi sudah sangat menyengat. Wah bisa kubayangkan lezatnya bubur Manado dengan sambal terasi. Makanan kesukaanku.

Aku pamit sejenak ke Kak Debby. Kali ini menuju rumah Esther. Di sana sudah ada Rika, Uju dan Uwi. Mereka sibuk menebalkan huruf-huruf di atas kertas Buffalo hijau muda.
”Evaluasi Belajar Komunitas Anak Cakung Kategori III dan IV, Jakarta 20 Juni 2010” Tulisan itu yang sempat aku baca. Bertiga sedang sibuk menyiapkan raport untuk anak-anak yang belajar di Komunitas Cakung.

Di ruang belajar riuh suara anak-anak kecil. Mereka disibukkan dengan lomba mewarnai, lomba gambar dan membuat pigura. Tadi sempat aku lihat Mama Erni – Ibunya Intan di sana, menunggu Intan menyelesaikan piguranya. Anak-anak lain juga ditunggui orang tuanya.
Intan mendapat nilai 74 untuk pelajaran yang dinilai: bahasa Inggris, matematika, bahasa Indonesia. Ia salah menuliskan burung dalam bahasa Inggris menjadi brid, padahal harusnya bird. Total nilai Dirno 15, Pedro mendapat 30.

“Yang dinilai bukan hanya pelajaran saja, tetapi lebih penting sikap, tanggung jawab dan kepribadian anak. Itu bedanya dengan sekolah umum,” ujar Kak Debby saat pembagian raport siang itu.

Raport ini dibagikan tiap empat bulan.
***
Gadis kecil berambut merah Lina dan Lini baru saja selesai menggambar. Kiki menggambar busway, jalan, bunga dan orang. Pensil warna hitam tumpul tak bisa ia gunakan.

Adit menggambar durian warna kuning dan hijau. Selain rambut merahnya, kini di dahinya dihiasai dengan bisul yang siap pecah. Ah miris melihatnya. Pasti meradang rasanya. Tapi ia tetap ceria. Dan selalu nempel di dekatku.

Nanti aku cerita lagi ya serunya pembagian raport siang itu...

Setiap dengar bel sekolah, dia nangis. Dia takut sekolah

Tak semua anak berambut merah dan berat badannya lebih ringan dari yang seharusnya. Dirno, Jingga, Ester dan Intan adalah anak-anak yang tumbuh sehat. Kulit mereka segar, rambut lebat dan hitam. Gerakan mereka lincah.

Dirno, si pemalu yang usil. Jingga manis dengan senyumnya. Siang itu dia memakai kaos oranye. Intan, pendiam dengan sorot mata cerdasnya. Sambil melihat-lihat lagi foto-foto mereka, aku seringkali jadi senyum-senyum sendiri. Ingat kelakuan-kelakuan yang membuat aku terbahak di lapangan waktu itu. Kembar yang berlompatan minta gendong. Atau Adit yang ngepot dengan sepeda kecilnya di gang. Dirno dan teman-temannya yang berlari lepas di pematang sawah. Rambutnya berkibaran. Ah, betapa gembiranya.

Ah ya, berlian itu memang bernama Intan. Berlian yang sesungguhnya. Berlian tetaplah berlian meski berada di tumpukan sampah sekalipun, bukan? Begitulah Intan.

”Nama saya Intan. Umur tujuh tahun. Sekolah di 09 pagi. Kelas 2A,” ujar Intan saat perkenalan. Lengkapnya Intan Delima.

Gadis cilik yang sederhana. Matanya besar bersinar. Siang itu ia memakai baju bahan jean tanpa lengan. Kaos dalamnya yang berwarna putih terlihat di balik baju
u can see nya. Celananya di atas mata kaki. Kulitnya coklat cerah. Tingginya hampir satu meter, cukup tinggi untuk anak seumurannya. Intan pendiam. Sepintas tak ada yang istimewa dari penampilannya.


***
Erni Sulistyaningsih, Mama Intan menemaniku ngobrol di depan rumahnya. Fajarwati, adik Intan satu-satunya, lengket dalam pangkuan mamanya.

”Susah tidur kalau di dalam. Mungkin panas. Tidur susah, makan juga susah,” ujarnya mengomentari badan Fajar nampak lebih lebih kecil dari anak seumuranya, setahun. Rumah Intan tepat di samping tempat belajar bersama. Luasnya mungkin 8 x 5 meter. Lantainya disemen. Di ruang tamunya ada hamparan karpet, TV model lama, dan kipas angin besar.

Aku tidak bisa mengintip lebih dalam lagi. Tapi pasti tempat tidur.”Cuma anak-anak yang tidur di kasur, Fajar dan Intan. Yang gede-gede tidur di luar,” ujar Erni. Aku mengangguk wajar kalau Fajar tak jenak tidur di dalam kamar.

“Sering sekali dia sakit. Hampir seminggu sekali ke puskesmas. Kalau sudah panas, pasti tidak mau makan, netek saja,” tambahnya. Waktunya tersita banyak untuk lebih memerhatikan Fajar.

”Perutnya bermasalah. Sering kembung,” lanjut perempuan asli Betawi ini.

Selain Erni, Fajar dan Intan, di rumah itu tinggal pula nenek Sri Harjati. Ayah Intan dan kakeknya. Kakek Intan sibuk menipiskan tali lini, tanaman dari rawa berbentuk seperti daun pandan panjang. Tali lini ini ditipiskan, satu batang bisa menjadi enam atau delapan potongan tipis memanjang. Usai dijemur kering, tali ini digunakan untuk mengikat sayur-sayuran.

Hampir rata-rata lelaki tua di sana sibuk menipiskan tanaman tersebut. Juga kakek Carya, kakeknya kembar.

”Sudah ada yang datang ngambil nanti, disetor ke pasar.Setiap hari begini, sejak dulu,” ujar kakek Intan. Jujur, aku belum pernah lihat sebelumnya tanaman rawa yang satu ini. Dan aku tidak sempat bertanya, dari rawa mana, lini diambil.

Fajar merengek di pangkuan Erni. Mungkin gerah. Sejenak Fajar terlelap ketika disusui tadi. Usapan lembut di paha Fajar menenangkannya. Dia pun kembali tertidur.

Sebetulnya selain Intan dan Fajar, ada satu anak lagi, tetapi meninggal.

Ayah Intan menggarap sebidang tanah di belakang rumahnya. Ditanaminya macam-macam. Kadang kacang dicampur terong, juga ada genjer dan kangkung. Yang selalu bisa dipanen adalah kangkung. Usai disemai benih, kangkung cabut sudah bisa dipanen selepas dua puluh hari. Genjer tinggal ditancap saja, panennya bergilir, dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Kacang akan dipanen setelah 2 bulan, sekali panen bisa 10 kilogram. Terong akan dipetik empat hari sekali setelah ditanam selama 35 hari.
***


Dari tanaman kangkung cabut, ayah Intan bisa memanen dua gabung kangkung untuk dijual ke pasar. Panen sore, sore itu pula diantar ke pasar. Satu gabung 25 ikat kecil kangkung. Paling tidak dengan dua gabung, ia mendapatkan Rp 10.000. Total jendral lelaki asal Indramayu ini mendapatkan Rp 20.000-Rp 30.000. Semuanya diserahkan ke istrinya.


”Kadang dikasih Rp 30.000, kadang kurang. Pernah juga hanya dikasih Rp 7.000,” ujarnya.

”Saya sih cuma bisa bengong saja. Untuk beli beras juga tidak cukup. Tapi bagaimana lagi, ya dijalani saja,” lanjutnya.

Pemberian suami itu ia bagi-bagi. Sebagian untuk belanja dan makan sehari-hari, lainnya untuk jajan anak-anaknya, sebagian disisihkan untuk bayar “sewa” tanah dan listrik. Pembayaran tanah dan listrik ditanggung dengan orang tua dan adiknya yang ikut bergabung di rumah itu. Tiap enam bulan, mereka harus bayar Rp 400.000 ke seseorang di daerah itu. Tapi tidak ada jaminan bahwa mereka aman dari penggusuran.

***

“Dulu setiap dengar bunyi bel sekolah, dia selalu nangis. Saya jadi bingung. Dia ketakutan setiap sekolah,” ujar Erni mengenang saat awal mengantarkan Intan ke sekolahnya.

SD 09 Pagi Cakung Timur berada di belakang SD 04 yang berada di tepi jalan raya. Bel sekolah selalu menakutkan buat Intan. Takut ditinggal ibunya. Takut karena asing dengan tempat belajarnya. Mungkin belajar formal ini mengagetkan buat Intan.

“Dia tidak pakai TK segala seperti anak-anak lain. Langsung masuk SD,” tambah Erni.

Kebingungan menghadapi sikap anaknya ini membuat Erni pulang ke kampung suaminya di Indramayu sementara waktu. Dia bertanya - entah ke dukun atau siapa, Erni tidak jelaskan – kenapa anaknya takut dengan sekolah. Ia khawatir anaknya kena apa-apa. Jawabannya melegakan, tidak ada apa-apa, nanti juga akan biasa. Mendengar jawaban itu, bergegas ia kembali ke Jakarta.
Beruntung Intan tekun belajar. Erni, mantan buruh pabrik sweater rajut ini memang keras menerapkan disiplin belajar. Pulang sekolah, Intan mengulang pelajaran dan mengerjakan PR.

“Saya tidak kasih dia keluar rumah kalau Intan tidak mau belajar bersama di sanggar. Malu sama teman-temannya,“ paparnya.

“Satu kali pun dia tidak pernah bolos sekolah. Kalau mengeluh pusing, saya kasih obat dan harus makan, lalu berangkat. Sekolah itu harus,” tegasnya.
Di kelas satu, Intan rangking 13 besar. Tetapi kelas dua, Intan mendapat rangking satu.

”Saya juga heran. Kok jadi juara satu. Waktu ambil raport saya malah kaget, kok bisa ya,” ujarnya berbinar. Rasa bangga bersinar di matanya.

Prestasi ini membuat Erni sering ditanya tetangganya di luar Cawang Sawah. ”Anaknya juara ya Bu? Les dimana?” pertanyaan yang seringkali didengarnya. Rasa bangga pun menyeruak di dadanya.
”Mana ada uang untuk les. Intan hanya belajar bersama di situ. Sama kakak-kakak yang mendampingi. Beruntung dia memang cerdas, beruntung pula ada tempat belajar bersama,” tambahnya. Berita gembira ini membuat orang tua dari kampung lain tak segan mengantar anaknya belajar bersama di komunitas Cakung ini. Padahal dulu ketika tempat belajar dekat dengan kampung mereka, mereka enggan mengajak anaknya untuk belajar bersama. Kini mulai banyak anak-anak di luar Cakung Sawah yang berinteraksi di komunitas.

Lina Lini Si Rambut Merah

Aku mulai kutak-kutik foto-fotoku dari pertemuanku dengan anak-anak Cakung Sawah. Lagi-lagi rambut merah jadi perhatianku. Berat badan anak-anak yang kurang. Juga penyakit kulit. Oh ya, aku lupa cerita. Kemarin aku juga mengunjungi rumah si kembar Lina dan Lini.

Tinggi gubuknya tak lebih dari 1,5 meter. Orang dewasa harus menunduk untuk masuk ke dalamnya. Dindingnya dari tripleks yang sudah lubang di sana sini. Ditopang beberapa bambu, sebagai penguat. Atapnya dari beberapa papan yang dilapisi plastik. Ukuran rumahnya tak lebih dari 3 x 4 meter. Masih disambung tutup terpal biru dan bagor putih di samping pintu rumah, tempat meletakkan barang-barang bekas, hasil kerja ayah si kembar. Di depannya teronggok barang-barang tak terpakai.

Aku melongok ke dalamnya. Gelap. Beralas tanah. Selain kembar, ada pula empat anak yang lain. Paling kecil Gio. Umurnya mungkin sudah lebih dari setahun. Di halaman depan rumah, Gio kecil berjalan telanjang ke sana kemari. Ibunya buru-buru memakaikan baju ketika aku mampir rumahnya. Sempat kulihat, sekujur tubuh Gio, penuh bercak-bercak putih. Dari atas badan hingga ke kakinya. Panu? Atau? Dan ternyata bukan cuma Gio, ada beberapa anak lain pula.

Saat kutinggalkan rumah Lina dan Lini, aku sungkan membiarkan pikiranku membayangkan bagaimana kalau turun hujan. Lantai rumah becek dan yang pasti tak bisa ditiduri. Lalu bagaimana anak-anak kecil itu istirahat?

Ah pikiran yang sibuk sendiri. Sementara lihat! Lina sangat gembira dengan apel besarnya. Digerogotinya apel itu sambil bermain-main dan tiduran di ban bekas yang teronggok di depan rumahnya. Dia bahagia. Anak perempuan kecil dengan celana kuning cerah dan kaos merah menyala. Lengkap dengan rambut merahnya. Kembar satunya entah sudah lari kemana.

***

Benakku makin beradu. Konsentrasi mengedit gambar dan bertanya-tanya kenapa berambut merah, kenapa bertotol-totol putih. Kenapa Fajarwati, adik Intan sering sakit. Hampir dua jam aku berkutat dengan laptopku. Sebagian besar foto sudah aku
retouch. Aku tidak tahu jawabnya, kenapa pekerjaan sosial bersama Ikka ini menyemangatiku. Aku berusaha membuat foto semenarik mungkin. Ikka bilang foto-foto itu nantinya untuk akan digunakan untuk mencari dana untuk kegiatan sosialnya.

Menunggu senja, aku iseng mencari informasi kurang gizi di internet.
…….


Kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga. Pertama, disebut sebagai Kurang Energi Protein Ringan. Pada tahap ini, belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan si anak hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal.


Kedua, disebut sebagai Kurang Energi Protein Sedang. Pada tahap ini, berat badan si anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang bisa dilihat dengan jelas adalah wajah menjadi pucat, dan warna rambut berubah agak kemerahan.



Ketiga, disebut sebagai Kurang Energi Protein Berat. Pada bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu kurang sekali, biasa disebut Marasmus. Tanda pada marasmus ini adalah berat badan si anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal.


Selain marasmus, ada lagi yang disebut sebagai Kwashiorkor. Pada kwashiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain adalah kaki mengalami pembengkakan, rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea, sehingga mata bisa pecah. Selain tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut, ada juga tanda lainnya, seperti penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut misalnya adalah anemia atau kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan, serta pecah-pecah di sudut mulut.


Ah......mengerti aku kini. Entah pada tahap satu, dua atau tiga, sebagian besar anak-anak itu menderita kurang gizi. Penyebabnya pun beragam:


Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut mempengaruhi. Dengan demikian, perhatian si ibu untuk si kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya si kakak menjadi kurang gizi.

Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-penyakit lain. Selain itu, yang

ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak mudah sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang gizi.

Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi.


Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis mereka akan kekurangan gizi.

Keenam, selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan.


Hampir semua faktor penyebab komplit ada di Cakung Sawah. Mungkin juga di banyak daerah lain di Indonesia. Bagaimana pun anak-anak itu konsumen pasif, mereka belum bisa mengurus dirinya sendiri termasuk untuk makanan.

Aku salut dengan Kak Debby, Rika, Uju, Mala, Indri, Qori dan pendamping lain yang sampai saat ini masih terus datang untuk membantu anak-anak belajar, memberi contoh hal-hal kecil tentang hidup sehat.

***

Aku tahu, bukan pekerjaan mudah untuk membuat tempat belajar bersama di Cakung Sawah. Tahun-tahun awal, yang terjadi justru penolakan demi penolakan. Satu setengah tahun berdiri, perangkat desa setempat tidak memberikan izin. Ada syarat yang harus dipenuhi: menyetor dana untuk kas desa secara rutin. Ini tentu saja berat. Kegiatan ini murni kegiatan sosial, proyek nurani.
Ketika orang tua mereka sibuk bergulat agar mereka dapat bertahan hidup, perhatian terhadap perkembangan anak pun akan berkurang jauh. Kemiskinan yang lekat dengan kebodohan makin menjauhkan mereka dari akses informasi tentang tumbuh kembang anak yang seharusnya. Kebutuhan pendidikan dasar dan pengetahuan umum tidak lagi menjadi prioritas dalam kemiskinan mereka. Inilah yang mendasari Debby memulai pekerjaan besarnya di sini.

”Lewat pendidikan alternatif, kami hanya ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang penuh percaya diri, otentik dan integral,” ujar Kak Debby panjang lebar dalam surat elektroniknya kepadaku.

Pelajaran sederhana sebetulnya, tetapi entah mengapa tumbuh keyakinanku bahwa ini adalah pembelajaran yang benar: lebih penting membentuk karakter dan kepribadian anak daripada hanya sekedar membuatnya cerdas, tetapi abai etika.

Mungkin ini sekolah yang sebenar-benarnya. Sekolah yang membuat anak-anak nyaman belajar di dalamnya. Sekolah yang menyesuaikan diri dengan anak-anak. Bukan sekedar tembok megah yang justru memaksa anak-anak untuk menyesuaikan diri dan tunduk dengan sekolahnya, bagai penjara.

***

Ah ya, tiba-tiba banyak ide bersliweran dalam benakku. Kubagi nanti ya.



powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes