Terjerat Bayang-bayang Penggusuran

Berbincang dengan Kak Debby, seolah menjadi penguatan bagiku. Ketika hidup riuh dengan dunia yang gemerlap, tuntutan materi dan penilaian sosial. Ketika orang selalu mendongak ke atas dan enggan melihat ke bawah. Ketika pengotakan makin nyata, antara yang punya dan papa. Ketika pribadi-pribadi hanya dinilai dari deretan Nomor Induk Karyawan atau pengodean yang lainnya.

”Anak-anak yang belajar di sini makin banyak, sementara tempat sangat terbatas. Tapi kami tidak mungkin menolak,” ujar Kak Debby.

Kini memang tak ada lagi penolakan dari lingkungan seperti tahun-tahun awal. Ketika belajar harus selalu berpindah-pindah dari bedengan satu ke yang lainnya. Ketika orang tua enggan membawa anaknya ke sanggar untuk belajar. Ketika pengurus wilayah mengharuskan ada setoran untuk kas rutin.

”Gampang-gampang susah untuk merangkul warga. Ketika sudah dekat dengan mereka pun, tidak begitu saja bisa melakukan kegiatan bersama,” ujar Kak Debby.
Ia pun menceritakan kisah menarik.
Pernah suatu ketika ia mengajak beberapa teman dokter untuk memberikan penyuluhan tentang Keluarga Berencana secara alami. Banyaknya anak dari keluarga-keluarga di sini menjadi keprihatinannya tersendiri. Banyak anak membuat perhatian orang tua tidak maksimal, terlebih ketika harus bergulat untuk sesuap nasi setiap harinya.

Gio misalnya, sejak usia empat bulan sudah ditinggal orang tuanya buruh mencuci. Lina Lini yang usianya belum belum genap 6 tahun harus menjaganya. Begitu juga dengan Fajar, ia seringkali merengek bila ditinggal pergi ibunya. Dan ini tak hanya satu dua anak yang mengalaminya.

”Inginnya memberikan penyuluhan tentang keluarga berencana alami. Tapi begitu tim dokter masuk, mereka ternyata lebih konsern dengan masalah sanitasi dan kesehatan,” ujar Kak Debby. Ia tak memungkiri komunitas di Cakung ini jauh dari standar sanitasi yang jamak diterapkan masyarakat.Kak Debby sadar betul, dalam kondisi sosial yang tidak menguntungkan ini, banyak anak makin menegaskan arti tidak akan banyak mendapat rezeki. Banyak anak justru meratakan kemiskinan itu sendiri.

”Banyak yang ingin kami lakukan bersama-sama,” tambahnya. Pernah ia mempunyai keinginan adanya sumber air bersih di wilayah ini. Tetapi bagaimana dengan mekanisme pembayaran dan perawatannya. ”Status administratif sangat menyulitkan mereka,” tambahnya. Hidup di wilayah yang tak jelas tuannya, membuat langkah tak leluasa bergerak.

”Belum lagi saya terus kepikiran, kalau penggusuran akan dilakukan dua tahun lagi. Entah dimana mereka akan tinggal dan belajar. Itu justru yang menjadi keprihatinan mendalam saya,” ujarnya.
***

Dan otakku pun berputar makin kencang. Adrenalinku bergejolak: aku harus melakukan sesuatu! Sekecil apapun itu!

1 Response to "Terjerat Bayang-bayang Penggusuran"

agung said...

jadi inget ibu kembar (sekolah darurat kartini) sama rumah anak langit..

great..

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes