Lensa Mata Hati

Benar adanya bahwa di dunia ini hanya ada dua pilihan yang bisa diambil. Baik buruk, panas dingin dan lain sebagainya. Tidak pilihan yang setengah-setengah. Setengah panas atau setengah dingin. Malah bikin anyang-anyangan nanti.

Begitu juga dengan diriku saat ini. Bukan pilihan berat. Hanya soal rasa saja. Hari-hari terakhir ini undangan untuk menjadi juri atau memotret even. Kamis kemarin memotret Miss celebrity di Ancol. Asyiknya bisa motret bareng mentorku di acara, Bang Darwis. Motret mereka berlenggong di tepi kolam renang, atau yang sibuk diajari jalan oleh Cathrin Wilson. Lalu motret bareng teman-teman di Indonesia photographer.

Menyenangkan sekaligus melelahkan. Menyenangkan karena ini benar-benar cara mengisi waktu yang efektif sambil menunggu Mas Iwan yang masih di Norwegia dalam tiga bulan ini. Melelahkan karena hampir setiap hari ada acara. Menyetir Cibubur – Jakarta – Cibubur, di tengah kemacetan yang susah terurai.

Tapi lelah bukan pilihanku. Bayangan Lina - Lini - Adit – Gio, begitu lekat di pelupuk mataku. Rambut merah mereka, bisul bernanah di jidat anak-anak Cakung. Tubuh mungil Fajar yang seringkali sakit. Kak Debby yang begitu gigih.

Ada rasa yang bergolak. Ingin rasanya melakukan sesuatu untuk mereka. Tapi apa? Uang tidak akan membantu untuk jangka panjang. Tenaga? Ah, masih lebih tangguh Kak Debby dibandingkan aku. Dia memberikan hidupnya selama enam tahun lalu untuk komunitas ini. Aku baru 2-3 kali saja datang, bercengkerama lalu pulang. Bukan aku yang menghibur mereka, justru aku yang menjadi penghiburan dari senyum lugu anak-anak ini.

Puluhan foto anak-anak Cakung kembali membayang. Akan aku apakan foto-foto ini. Bagaimana foto ini bisa menghasilkan sesuatu untuk mereka. Pameran? Apa judulmya? Apa ada yang mau lihat. Duh......gemas aku jadinya.

***

“Kamu sudah memotret mereka dengan lensa mata hati kamu San,” ujar Rizky siang itu. Ketika aku curhat kegundahanku. “Sangat layak dipamerkan. Its so touching,” ujarnya menepis keraguan aku.

Tak berlebih aku memanggilnya Mr. Solusi. Kalau mentok ide, ngobrol dengan Rizky, otak jadi lancar lagi. Kami pun berjibaku mengedit dan mengklasifikasi agar mudah dipahami orang temanya.

“Aku yang cetak ya, pasti dapat murah,” ujar Ikka. Nah, giliran beli bingkai Mas Bayu yang kebagian jatah. Lebih murah membeli dalam jumlah banyak seperti ini, daripada memesan di tukang kayu. Tiga lusin bingkai hitam dibawa Mas Bayu dari Ragunan. “Lebih murah beli di sana,” ujarnya cekak. Aku dan Ikka hanya senyum saja, tidak kebayang bagaimana tiga lusin pigura bisa nangkring di motor Mas Bayu.

Aku sudah bertekad dengan teman-teman mau berbuat sesuatu untuk membantu anak-anak di Cakung. Ikka kebagian melobi Museum Bank Mandiri. Rizky menyiapkan konsep pameran dan membagi pengumuman. Sementara acaraku di Bandung tidak bisa aku tinggal, aku harus pergi. Jadilah Ikka dan Rizky yang harus berjibaku menyiapkan semuanya. Alex menawarkan diri membantu.

Saking semangatnya menata di museum, Ikka sampai lupa dengan rasa takutnya.
“Emang berani kamu sampai tengah malam di sana? Apa tidak takut?” tanyaku penasaran saat pembukaan pameran tersebut. “Saking capeknya, sampai rasa takutpun enggan singgah San,” ujarnya masih dengan mata yang kuyu.

Sekarang aku yang takut., jangan-jangan donasi dari pameran foto ini tidak menghasilkan banyak dana. Kalau itu yang terjadi bagaimana ya..........................

No Response to "Lensa Mata Hati"

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes