Setiap dengar bel sekolah, dia nangis. Dia takut sekolah

Tak semua anak berambut merah dan berat badannya lebih ringan dari yang seharusnya. Dirno, Jingga, Ester dan Intan adalah anak-anak yang tumbuh sehat. Kulit mereka segar, rambut lebat dan hitam. Gerakan mereka lincah.

Dirno, si pemalu yang usil. Jingga manis dengan senyumnya. Siang itu dia memakai kaos oranye. Intan, pendiam dengan sorot mata cerdasnya. Sambil melihat-lihat lagi foto-foto mereka, aku seringkali jadi senyum-senyum sendiri. Ingat kelakuan-kelakuan yang membuat aku terbahak di lapangan waktu itu. Kembar yang berlompatan minta gendong. Atau Adit yang ngepot dengan sepeda kecilnya di gang. Dirno dan teman-temannya yang berlari lepas di pematang sawah. Rambutnya berkibaran. Ah, betapa gembiranya.

Ah ya, berlian itu memang bernama Intan. Berlian yang sesungguhnya. Berlian tetaplah berlian meski berada di tumpukan sampah sekalipun, bukan? Begitulah Intan.

”Nama saya Intan. Umur tujuh tahun. Sekolah di 09 pagi. Kelas 2A,” ujar Intan saat perkenalan. Lengkapnya Intan Delima.

Gadis cilik yang sederhana. Matanya besar bersinar. Siang itu ia memakai baju bahan jean tanpa lengan. Kaos dalamnya yang berwarna putih terlihat di balik baju
u can see nya. Celananya di atas mata kaki. Kulitnya coklat cerah. Tingginya hampir satu meter, cukup tinggi untuk anak seumurannya. Intan pendiam. Sepintas tak ada yang istimewa dari penampilannya.


***
Erni Sulistyaningsih, Mama Intan menemaniku ngobrol di depan rumahnya. Fajarwati, adik Intan satu-satunya, lengket dalam pangkuan mamanya.

”Susah tidur kalau di dalam. Mungkin panas. Tidur susah, makan juga susah,” ujarnya mengomentari badan Fajar nampak lebih lebih kecil dari anak seumuranya, setahun. Rumah Intan tepat di samping tempat belajar bersama. Luasnya mungkin 8 x 5 meter. Lantainya disemen. Di ruang tamunya ada hamparan karpet, TV model lama, dan kipas angin besar.

Aku tidak bisa mengintip lebih dalam lagi. Tapi pasti tempat tidur.”Cuma anak-anak yang tidur di kasur, Fajar dan Intan. Yang gede-gede tidur di luar,” ujar Erni. Aku mengangguk wajar kalau Fajar tak jenak tidur di dalam kamar.

“Sering sekali dia sakit. Hampir seminggu sekali ke puskesmas. Kalau sudah panas, pasti tidak mau makan, netek saja,” tambahnya. Waktunya tersita banyak untuk lebih memerhatikan Fajar.

”Perutnya bermasalah. Sering kembung,” lanjut perempuan asli Betawi ini.

Selain Erni, Fajar dan Intan, di rumah itu tinggal pula nenek Sri Harjati. Ayah Intan dan kakeknya. Kakek Intan sibuk menipiskan tali lini, tanaman dari rawa berbentuk seperti daun pandan panjang. Tali lini ini ditipiskan, satu batang bisa menjadi enam atau delapan potongan tipis memanjang. Usai dijemur kering, tali ini digunakan untuk mengikat sayur-sayuran.

Hampir rata-rata lelaki tua di sana sibuk menipiskan tanaman tersebut. Juga kakek Carya, kakeknya kembar.

”Sudah ada yang datang ngambil nanti, disetor ke pasar.Setiap hari begini, sejak dulu,” ujar kakek Intan. Jujur, aku belum pernah lihat sebelumnya tanaman rawa yang satu ini. Dan aku tidak sempat bertanya, dari rawa mana, lini diambil.

Fajar merengek di pangkuan Erni. Mungkin gerah. Sejenak Fajar terlelap ketika disusui tadi. Usapan lembut di paha Fajar menenangkannya. Dia pun kembali tertidur.

Sebetulnya selain Intan dan Fajar, ada satu anak lagi, tetapi meninggal.

Ayah Intan menggarap sebidang tanah di belakang rumahnya. Ditanaminya macam-macam. Kadang kacang dicampur terong, juga ada genjer dan kangkung. Yang selalu bisa dipanen adalah kangkung. Usai disemai benih, kangkung cabut sudah bisa dipanen selepas dua puluh hari. Genjer tinggal ditancap saja, panennya bergilir, dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Kacang akan dipanen setelah 2 bulan, sekali panen bisa 10 kilogram. Terong akan dipetik empat hari sekali setelah ditanam selama 35 hari.
***


Dari tanaman kangkung cabut, ayah Intan bisa memanen dua gabung kangkung untuk dijual ke pasar. Panen sore, sore itu pula diantar ke pasar. Satu gabung 25 ikat kecil kangkung. Paling tidak dengan dua gabung, ia mendapatkan Rp 10.000. Total jendral lelaki asal Indramayu ini mendapatkan Rp 20.000-Rp 30.000. Semuanya diserahkan ke istrinya.


”Kadang dikasih Rp 30.000, kadang kurang. Pernah juga hanya dikasih Rp 7.000,” ujarnya.

”Saya sih cuma bisa bengong saja. Untuk beli beras juga tidak cukup. Tapi bagaimana lagi, ya dijalani saja,” lanjutnya.

Pemberian suami itu ia bagi-bagi. Sebagian untuk belanja dan makan sehari-hari, lainnya untuk jajan anak-anaknya, sebagian disisihkan untuk bayar “sewa” tanah dan listrik. Pembayaran tanah dan listrik ditanggung dengan orang tua dan adiknya yang ikut bergabung di rumah itu. Tiap enam bulan, mereka harus bayar Rp 400.000 ke seseorang di daerah itu. Tapi tidak ada jaminan bahwa mereka aman dari penggusuran.

***

“Dulu setiap dengar bunyi bel sekolah, dia selalu nangis. Saya jadi bingung. Dia ketakutan setiap sekolah,” ujar Erni mengenang saat awal mengantarkan Intan ke sekolahnya.

SD 09 Pagi Cakung Timur berada di belakang SD 04 yang berada di tepi jalan raya. Bel sekolah selalu menakutkan buat Intan. Takut ditinggal ibunya. Takut karena asing dengan tempat belajarnya. Mungkin belajar formal ini mengagetkan buat Intan.

“Dia tidak pakai TK segala seperti anak-anak lain. Langsung masuk SD,” tambah Erni.

Kebingungan menghadapi sikap anaknya ini membuat Erni pulang ke kampung suaminya di Indramayu sementara waktu. Dia bertanya - entah ke dukun atau siapa, Erni tidak jelaskan – kenapa anaknya takut dengan sekolah. Ia khawatir anaknya kena apa-apa. Jawabannya melegakan, tidak ada apa-apa, nanti juga akan biasa. Mendengar jawaban itu, bergegas ia kembali ke Jakarta.
Beruntung Intan tekun belajar. Erni, mantan buruh pabrik sweater rajut ini memang keras menerapkan disiplin belajar. Pulang sekolah, Intan mengulang pelajaran dan mengerjakan PR.

“Saya tidak kasih dia keluar rumah kalau Intan tidak mau belajar bersama di sanggar. Malu sama teman-temannya,“ paparnya.

“Satu kali pun dia tidak pernah bolos sekolah. Kalau mengeluh pusing, saya kasih obat dan harus makan, lalu berangkat. Sekolah itu harus,” tegasnya.
Di kelas satu, Intan rangking 13 besar. Tetapi kelas dua, Intan mendapat rangking satu.

”Saya juga heran. Kok jadi juara satu. Waktu ambil raport saya malah kaget, kok bisa ya,” ujarnya berbinar. Rasa bangga bersinar di matanya.

Prestasi ini membuat Erni sering ditanya tetangganya di luar Cawang Sawah. ”Anaknya juara ya Bu? Les dimana?” pertanyaan yang seringkali didengarnya. Rasa bangga pun menyeruak di dadanya.
”Mana ada uang untuk les. Intan hanya belajar bersama di situ. Sama kakak-kakak yang mendampingi. Beruntung dia memang cerdas, beruntung pula ada tempat belajar bersama,” tambahnya. Berita gembira ini membuat orang tua dari kampung lain tak segan mengantar anaknya belajar bersama di komunitas Cakung ini. Padahal dulu ketika tempat belajar dekat dengan kampung mereka, mereka enggan mengajak anaknya untuk belajar bersama. Kini mulai banyak anak-anak di luar Cakung Sawah yang berinteraksi di komunitas.

5 Response to "Setiap dengar bel sekolah, dia nangis. Dia takut sekolah"

Eka_Rahmadhy said...

Nice posting, Friend......
Potret keseharian dari mereka yg slalu berjuang.

Anonymous said...

luar biasa ...!!

Sasan said...

Wahh terimakasih teman-teman, aku hanya kasihan melihat hidup mereka sesanggupnya saja aku membantu..., jika mereka merasa lebih itu berkah dari Allah SWT...Amiin

Unknown said...

wah kk sasan hebt nih...
ajarin dund
Q kan masih kecil hehe

nayla said...

god bless you sist....
andai aku bs bantu, sayang jarak memisahkan niatku.

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes