Belajar Banyak dari Kesederhanaan Anak-anak
Vitamin Multivitaplex Untuk Anak-anak Cakung Sawah
Rasanya kegembiraan sore itu tak henti-hentinya untuk kami nikmati bersama. Es buah yang segar, nasi kotak yang enak, belum lagi kolak pisang yang manis, setumpuk hadiah, berbagai kejuaraan lomba, vitamin yang memang dibutuhkan anak-anak dan juga sedikit tali kasih untuk sekedar jajan mereka di hari raya nanti.
“Nah sekarang, Kak Ikka dan Kak Bayu akan informasikan siapa saja yang menang lomba pada waktu kita pelatihan foto kemarin,” ujar Ikka. Kemarin, Bayu, Ikka dan aku sudah sibuk untuk menentukan mana karya terbaik dari pelatihan yang hanya sepintas itu. Meskipun masih sangat sederhana karya mereka, tetapi kami semua menghargai ketekunan dan keberanian untuk berani mencoba.
Senang rasanya melihat Johanes, Susi, Indri, Ester, Kartini, Yana, Anah, Mohandri, Aris dan Zakaria membopong hadiah mereka, bingkisan buku dari teman-teman Mas Bayu. Kak Debby, Mas Bayu dan juga Ikka bergantian menyerahkan hadiahnya.
Lalu masih ada hadiah lagi untuk yang paling rajin hadir, paling rajin menabung, paling aktif dan sebagainya. Diantaranya ada Firman dan Lini. Geli melihat Lini keberatan dengan bingkisannya. Bungkusan hadiah itu nampak lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya.
“Ingat ya, yang mendapatkan bingkisan hanya mereka yang paling rajin datang ke sanggar. Kalau tidak rajin tidak dapat bingkisan. Makanya lain kali harus sering-sering datang ya,” Kak Rikka memperingatkan anak-anak dan orang tua yang hadir di sanggar sederhana itu. Semua anak pasti menginginkan dapat bingkisan berupa buku, tas, alat sekolah, vitamin dan lain sebagainya. Kemewahan yang luar biasa bagi mereka untuk mendapatkan barang-barang itu. Tetapi Kak Debby membuat peraturan yang tegas, mereka yang tidak pernah datang ke sanggar, tidak rajin belajar dan tidak aktif, tidak akan mendapatkan bingkisan. Aturan ini harus diterapkan, supaya anak-anak dan orang tua tidak hanya datang ke sanggar setiap ada acara saja. Tentu ada yang kecewa, tetapi ini kesepakatan yang harus diterapkan bersama.
***Kami pun mendaulat Pak Anton untuk maju memberikan vitamin yang disumbangkan perusahaannya. ”Vitamin ini untuk membuat badan jadi makin sehat. Mudah-mudahan nanti semua sehat seperti saya. Ini hanyalah bantuan kecil dari Multivitaplex, mudah-mudahan berguna untuk kita semua,” ujar Pak Anton.
“Terima kasih Pak Anton,” tiba-tiba serempak anak-anak menyampaikan apresiasinya terhadap bingkisan tersebut. Aku agak kaget mendengarnya tetapi sekaligus juga senang, Aku yakin, ungkapan terima kasih ini tidak hanya karena pemberian vitamin itu, tetapi lebih pada perhatian untuk kesehatan mereka. Dan lagi-lagi aku menyaksikan betapa pelajaran-pelajaran kecil dari Kak Debby dan pendamping yang lain sudah lekat dalam nafas keseharian mereka. Ini terbukti mereka tidak berebut untuk mendapatkan vitamin, bingkisan lain dan juga makanan. Satu pelajaran sederhana yang membuat suasana jadi terasa tertib.
”Ingat ya ibu-ibu, vitamin ini ada aturan minumnya. Untuk anak yang masih kecil dan yang sudah agak gede beda takarannya. Ibu-ibu perhatikan ya cara memberikan dosisnya,” ujar Kak Rika usai membagikan vitamin untuk semua anak-anak. Pemberitahuan seperti ini rasanya perlu disampaikan ke mereka, terutama untuk orang tua agar memberikan dosis tepat bagi anak-anak nantinya.
Mereka Makan dengan Lahap
“Nama saya Maria Prihatin, belajar di Cakung, rumah di sana,” ujar Prihatin sambil menunjuk sisi kiri dari tempat kami bertemu sore itu, Sanggar Belajar Cakung. “Nama saya Pedro, umur 8 tahun, tinggal di Gang Muslim,” lanjut Pedro.
Perkenalan ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga bulan lalu dengan mereka. Saat pertama kali diajak Ikka untuk membantu dia di tempat belajar yang diampu Kak Debby ini. Memperhatikan 47 anak memperkenalkan diri, sesekali aku masih suka tertawa melihat kepolosan mereka. Gaya mereka yang sederhana, kadang malu-malu, kadang jadi hilang suara, tetapi mereka cukup berani dan percaya diri untuk mengenalkan diri.
Ketika giliran Lini memperkenalkan diri, aku sempat melirik ke wajah Gita yang duduk di sampingku. Matanya berkaca-kaca. “Duh, aku terharu banget. Padahal mereka bicara begitu saja. Aku jadi membandingkan mereka dengan anakku. Jadi kangen rumah rasanya,” ujarnya. Tidak hanya sekali ia menyeka sudut matanya. Aku baru tahu, di balik badannya yang tinggi besar, ia memiliki hati yang sangat sensitif rupanya. Aku hanya senyum saja melihat kegelisahan Gita.
Siapapun pasti akan tergugah melihat anak-anak ini. Dalam kepapaan dan kesederhanaan hidup mereka, Kak Debby, Ikka dan banyak teman yang lain melihat mereka ini bagai butiran-butiran mutiara.Ketika giliran kami kembali memperkenalkan diri, mereka menyimak dengan takzim. Lagi-lagi Audi mendapatkan sapaan yang meriah dari anak-anak cewek yang mulai menginjak remaja. Satu lagi yang secara khusus mendapat perhatian yaitu Pak Anton dari Multivitaplex yang sore itu datang bersama keluarganya. Dengan tubuh yang paling besar di antara kami semua, pantas Pak Anton jadi pusat perhatian.
”Nama saya Anton, saya kerjanya membuat obat, antara lain membuat vitamin,” ujarnya sambil menjelaskan manfaat vitamin untuk tubuh.
”Weiihhhh agak-agak ngeri ya,” celetuk Dirmo. Kami tertawa mendengar celetukkannya yang spontan. Mungkin Dirno masih membayangkan vitamin itu dengan obat-obat pahit yang seringkali harus diminumnya di kala sakit.
Sore itu sangat istimewa untuk kami maupun anak-anak. Kami merencanakan untuk berbuka bersama dan berbagi kebahagiaan kecil yang beberapa waktu terakhir ini sudah kami usahakan benar-benar. Keterlibatan Pak Anton besar artinya untuk kegiatan sore itu.
Kelelahan setelah beberapa hari sebelumnya sibuk mengemas bingkisan untuk anak-anak, menyiapkan bantuan vitamin untuk mereka, mencarikan sejumlah buku pelajaran dan bacaan, terbayar sudah melihat senyum dan kebahagiaan di wajah anak-anak.
***
”Sore ini kami ingin menunjukkan kemampuan anak-anak untuk menyanyi dan puisi yang diikuti anak-anak dari berbagai kategori belajar,” ujar Kak Anah dan Kak Yulina yang sore itu.
Kami tertawa melihat tingkah mereka bernyanyi. Kadang menata barisan sambil ribut sana sini atau ledek-ledekan. Tetapi sebentar kemudian, mereka sudah rapi dalam koreografi sederhana. Ester dan Kartini mengiringi nyanyian dengan seruling. Sesekali aku tersenyum melihat ekor mata Susi yang mencuri-curi pandang ke Audi saat difoto. Ah anak-anak.
Saat Kevin membawakan puisi Kekecewaan Petani dan Intan dengan puisi Ibuku, lagi-lagi mata Gita berkaca-kaca. Puisi-puisi itu memang sangat menyentuh. Selain Kevin dan Intan, masih ada Chintya, Pedro, Mayang dan Fani yang membawakan karya mereka petang itu.
Kau menanam padi susah payah
Walau harus terjemur di sawah
Tapi kau tidak takut kalah Dengan tikus-tikus sawah
Walau hasil panen harus dijual murah
Tapi tekadmu tidak akan goyah.
Puisi ini memang sangat menyentuh. Pantas kalau Gita juga terharu. Aku membayangkan puisi itu Kevin ia dapatkan dari gambaran keseharian ayah ibunya yang menggarap lahan di belakang rumah dengan tanaman kangkung, kacang, bayam ataupun terong. Mereka bekerja keras, terpapar terik untuk hasil panen yang hanya cukup untuk makan satu dua hari saja.
***
Usai menunjukkan kebolehan, Kak Yulina dan Kak Anah mempersilakan kami semua untuk melihat hasil karya mereka selama ini: Ada jualan coklat dalam bentuk yang cantik-cantik, kartu lebaran dan majalah dinding yang ditempel di tembok rumah Ibu Ester. Mereka mempersilakan kami semua untuk keliling di seluruh pemukiman tersebut. Ada Ester yang tanggap menjelaskan tentang majalah dinding yang ia jaga sore itu, lalu Susi menjelaskan tentang kepiawaiannya membuat rajutan, Kak Uju menjaga jajanan coklat yang dibuat beberapa hari sebelumnya bersama anak-anak kategori 4 dan 5.
Tak terasa senja jadi cepat datang. Rasa lapar karena seharian menahan haus dan lapar tak terasa lagi. Tapi ketika azan berkumandang, kami kembali ke Sanggar. Diki memimpin doa untuk membatalkan puasa kami hari itu. Lalu kakak-kakak membagikan es buah yang sangat segar.
Intan, Lina dan Lini yang sedari tadi ngelendot di pangkuanku segera tandas menghabiskan minuman tersebut. Lini bahkan tambah 2,5 gelas. Intan terus menghabiskan buah dalam gelas plastiknya, setelah airnya habis ia minum. Senangnya melihat anak-anak semangat seperti ini.
Hebatnya lagi, Intan masih bisa makan nasi dus yang diberikan sore itu. Padahal, ia biasanya paling susah makan. Begitu juga anak-anak lain. Senang rasanya memperhatikan anak-anak yang makan dengan lahap dan bermain dengan gembira.
Rasanya, tidak ada lagi masalah yang perlu dikhawatirkan. Dunia anak-anak yang sangat sederhana. Andai dunia orang dewasa sesederhana itu ya.
Terima Kasih Tuhan, Bantuan Datang Dari Mana-mana
Jadwal fotografiku sudah agak senggang. Puasa memberi kesempatan untuk mengedit foto dan meluangkan banyak waktu di rumah. Dan itu berarti aku memiliki waktu memikirkan kembali proposal-proposal kegiatan untuk Komunitas Cakung. Setelah patah arang dengan beberapa penolakan dan proposal yang tanpa kabar, kini aku semangat lagi. “Ditolak adalah hal biasa, tapi bangkit lagi untuk memulai, itu lebih luar biasa,” ujar Ikka.
Ikka benar. Kalau teman-temanku di Cakung putus asa dengan kondisinya saat ini, bagaimana mereka akan menatap hidup ke depannya. Aku yakin, dalam kepala-kepala kecil itu, pasti tersimpan mimpi-mimpi besar.
Pembicaraan Mas Bayu dengan teman-temannya dari komunitas Wikimu menyepakati untuk memberikan bantuan bagi Komunitas Cakung. Aku tinggal tindaklanjuti saja rencana ini. Proposal sederhana pun aku ajukan untuk mereka. Teman-teman Bayu tertarik memberikan bantuan dana untuk kegiatan. ”Meski jumlahnya tidak banyak, tetapi mudah-mudahan berguna,” ujar Bayu. Aku tidak mempermasalahkan besar kecilnya bantuan. Aku sudah sangat bahagia, kalau banyak teman tergugah untuk saling berbagi.
Gita juga akan membantu menyebarkan proposal pada komunitas-komunitas lain. ”Siapa tahu, bisa berbagi kebahagiaan untuk mereka saat lebaran nanti,” ujarnya. Dua tiga proposal akan dia bawa.
”Bismillah. Mudah-mudahan kali ini berhasil,” doaku, saat akan mengirimkan satu proposal ke perusahaan besar. Jeri dengan penolakan kemarin, membuat aku pasrah saja apapun nanti hasilnya. Meski aku berharap banyak pada salah satu produsen multivitamin untuk anak-anak ini, tetapi ada setitik keraguan untuk ditolak lagi. Padahal, kalau mereka mau membantu, pasti besar sekali manfaatnya untuk Adit, Intan, Lina Lini dan Gio. Mudah-mudahan perkembangan mereka lebih tertolong dengan bantuan vitamin-vitamin yang ada.
Bayangan Gio dan Fajar dengan tubuh kecilnya, rambut merah Lina Lini dan bisul di dahi adit terus membayang. Aku gemas dengan diriku sendiri kalau sekarang ini gagal lagi. ”Kamu sudah lakukan yang terbaik, sisanya serahkan saja ke Maha Pengatur,” ujar Ikka di ujung telepon menenangkan aku.
Semau proposal itu harus bergegas kami kirimkan, Lebaran sudah cukup dekat. Kalau Tuhan mengizinkan, aku ingin menjadikan lebaran kali ini begitu bermakna untuk teman-teman di Komunitas Cakung. Tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk kakak-kakak pendamping yang sangat setia.
***
”Mbak Wheny, boleh tidak aku minta sedikit buku bacaan untuk anak-anak kecil di Cakung? Cerita tentang mereka Mbak Wheny bisa baca di blogku,” ujarku siang itu dengan Wheny, teman di Sinar Kasih. Wheny dan teman-temannya mempunyai mimpi besar untuk membangun perpustakaan-perpustakaan di daerah marjinal, kantong-kantong kemiskinan dan daerah terisolir.
”Pakai saja buku yang belum kita kirim untuk Pulau Tunda dulu say. Nanti bantuin pilah-pilah lagi ya,” ujarnya. Jawaban sederhana yang sangat menggembirakan aku. Kadang aku jadi malu sendiri, tidak banyak yang aku lakukan untuk membantu kegiatan Wheny, padahal aku sudah berjanji akan meluangkan waktu dan tenagaku memilah dan menyiapkan buku-buku untuk dikirimkan ke berbagai wilayah.
”Terima kasih ya San. Itu gunanya banyak teman ya. Mudah-mudahan makin banyak yang bisa kita siapkan untuk kunjungan nanti,” ujar Mas Bayu menyemangati. Dua bantuan paling tidak sudah dijanjikan. Aku masih menunggu dari Gita. Sepertinya sinyalnya positif.
Aku, Ikka, Risky, Bayu dan Audi pasti akan disibukkan pula untuk menilai karya-karya fotografi terbaik selama pelatihan berlangsung.
“Hadiahnya nanti buku. Ada temanku mau menyumbang buku karya dia tentang Alam Jakarta. Isinya mengenai flora dan fauna,“ ujar Bayu.
“Pokoknya hadiahnya asyi-asyik,“ ujar Ikka. Aku percaya mereka berdua pasti akan memilihkan hadiah yang tepat. Siapa tahu nanti fotografer handal lahir dari Komunitas Cakung ini, bukankah Tuhan Maha Pengatur?
Hari-hari ini terlewati dengan menggembirakan.
***
”Saaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!! Ada berita gembira buat kita! Kita berhasil,” ujar Ikka begitu bersemangat di ujung telpon.
Apanya yang berhasil? Apanya yang perlu diselamati? Apa lagi yang menggembirakan? Aku masih diam menunggu penjelasan Ikka.
”Tebak apa hayooooo? ujarnya, membuat rasa penasaran aku meningkat.
”Hemmm.....hemm.....,” aku belum sempat menjawab ketika dia menyambung dengan kalimat lain.
”Vitamin Multivitaplex menyetujui proposal kamu! Hebat kan! Kita berhasil mendapatkan bantuan untuk anak-anak di Cakung,” ujarnya sangat riang.
”Hah yang benar? Serius kamu Ka?” tanyaku tak percaya.
”Mereka baru saja telpon dan akan memberikan bantuan vitamin untuk beberapa waktu ke depan. Aduh aku bahagia banget,” ujar Ikka masih menggebu-gebu.
Tak terasa air mataku meleleh dengan berita bahagia ini. Terbayang wajah bahagia Fajar, Lina Lini, Gio dan Adit. Terima kasih Tuhan, Engkau memang selalu adil.
Tuhan, Kirimkan Mimpi Indah Buat Mereka
Tak sampai sepuluh menit kami menemani mereka di pematang sawah. Bukan karena tidak tahan dengan teriknya cuaca. Tapi melihat mereka sudah menikmati sesi praktik fotografi ini, kami membebaskan mereka berekspresi.
Kak Uju menunjukkan hasil karya anak-anak. Kartu ucapan lebaran yang mereka buat sendiri. Kartu-kartu sederhana dengan ornamen kertas warna-warni. Berhias ketupat dan bunga. Ah aku jadi ingat waktu kecil dulu, aku juga suka membuat kartu ucapan lebaran atau hari raya lain berhias bunga dan daun-daun kering ditambah dengan pita. Dulu aku suka menjual di sekolahku.
Lalu ada pula rajutan tempat handphone dan rajutan bando yang lucu sekali. Gemas melihat rajutan bando itu. Aku tidak tahu pantas tidak aku pakai bando itu. Dari pada penasaran kucoba satu. Risky memotretku.
“Pantes kok. Mirip sedikit zaman Maria Mercedes,” goda Ikka. Kami semua tertawa, ingat telenovela yang dulu digemari sejuta ibu-ibu itu.
“Gak boleh kurang ya harganya? Beli kartu sama bando, diskon dikit ya?” rayuku pada Kak Uju.
”Ini kan buatan tangan Kak, jadi mahal,” ujarnya. Sebetulnya aku hanya menggoda. Di zaman kini, di saat operator memberi gratisan seribu SMS, di saat Blackberry memudahkan komunikasi, rasanya jadi naif berkirim ucapan lebaran dalam selembar kertas, yang entah kapan sampainya.
Zaman yang bergerak cepat, meminggirkan Pak Pos dengan sendirinya. Pada saat yang sama mungkin masih ada pula yang merasa lebih dihormati menerima kiriman kartu dibandingkan sederet SMS yang copy paste saja.
Tapi aku sudah tahu kepada siapa kartu tersebut akan aku kirim. Aku juga tahu untuk siapa bando rajut tersebut akan aku berikan. Sudah terbayang teriakan bahagia keponakan mungilku di Bandung pasti akan senang dengan bingkisan kecil itu. Juga sahabatku yang sudah lama tidak aku kunjungi, pasti akan bahagia menerika kartu lebaran itu.
Karya-karya sederhana ini ternyata tidak hanya menghasilkan uang dan menambah ketrampilan mereka saja, tetapi juga menularkan kebahagiaan untuk aku dan orang-orang lain.
***
Aku jadi ingat tulisan temanku: ”Saya tertidur dan saya bermimpi sangat indah. Saya bermimpi jadi malaikat.......Tatkala saya bangun, saya terpekur: saya begitu miskin. Saya tidak mampu membayar untuk mendapat hiburan, maka Tuhan mengirimi saya mimpi-mimpi ini bagi jiwa saya yang gelisah. Karena Tuhan melindungiku, aku menyampaikan terima kasih.”
Mudah-mudahan Tuhan mengirimkan banyak mimpi indah untuk mereka, teman-teman kecilku di Cakung. Mereka banyak menghiburku dalam keterbatasan kondisinya. Mimpi indah tentu akan menjadi pelita dan kekuatan mereka. Dan aku juga yakin, hal besar pun dimulai dari mimpi yang seakan mustahil. Mudah-mudahan lebaran kali ini penuh berkah untuk mereka.